Thursday, June 26, 2008

Pemberdayaan Masyarakat sebagai pilar Penanggulangan Kemiskinan.
Masalah kemiskinan di Indonesia sudah lama menjadi fokus perhatian dan mencetuskan banyak program pengentasan kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan telah diluncurkan oleh pemerintah, antara lain: Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1994, Proyek Peningkatan Desa Tertinggal (P3DT), Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK), Pengembangan Kawasan Tertinggal (PKT) tahun 1989 – 1994. Semua program yang digagas untuk mengentaskan kemiskinan belum menunjukkan hasil optimal. Beberapa kelemahan yang nampak kemudian adalah:
  1. koordinasi antara perencanaan dan pelaksanaan program baik dalam departemen maupun antar departemen belum optimal,
  2. keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan program belum maskimal,
  3. kelanjutan program masih dipandang sebagai proyek temporer,
  4. masyarakat miskin cenderung menjadi sasaran ‘obyek’ program dibandingkan ‘subyek’.

Kenyataan di atas telah memberikan dampak lanjutan yang secara nyata dapat diukur berdasarkan:

  1. Akses terhadap prasarana maupun sarana dasar lingkungan secara memadai,
  2. Kualitas perumahan dan permukiman di bawah standar kelayakan, serta
  3. Mata pencaharian yang tidak menentu.

Selama ini banyak pihak melihat persoalan kemiskinan hanya tertuju pada tataran gejala-gejala yang tampak luar yang kasat mata disbanding konteks dan hakekat kemiskinan itu sendiri.
Padahal kemiskinan mencakup masalah multidimensi baik politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi gejala-gejala kemiskinan tersebut dapat dipahami di bawah ini, seperti antara lain :

  • Dimensi Politik, berbentuk kelangkaan wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin. Sehingga masyarakat miskin benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibat dari ini, mereka tidak memiliki akses memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk mendukung hidup secara layak, termasuk akses informasi;
  • Dimensi Sosial, kerap menempatkan masyarakat miskin tidak berintegrasi ke dalam institusi sosial yang ada, hal ini menyebabkan internalisasi budaya kemiskinan yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, termasuk nilai-nilai kapital sosial yang semakin pudar;
  • Dimensi Lingkungan menonjolkan dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat miskin yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman;
  • Dimensi Ekonomi antara lain berujud penghasilan masyarakat miskin yang rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak; dan
  • Dimensi Aset, ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan, dan sebagainya.

Karakteristik kemiskinan yang dipaparkan terakhir telah menyadarkan semua pihak terhadap isu sentral pengentasan kemiskinan. Isu tersebut adalah pendekatan dan cara penanggulangan kemiskinan yang mengandalkan penguatan kelembagaan masyarakat.
Penguatan melalui pemberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat agar mampu menjadi wadah bagi masyarakat miskin untuk memperjuangkan diri, hidup mandiri dan secara berkelanjutan menyuarakan aspirasi maupun kebutuhan mereka. Di lain pihak penguatan ini, diharapkan mampu memberikan sumbangan potisitf terhadap proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan.
Penguatan kelembagaan masyarakat ini pun dititikberatkan pada upaya pemberdayaan peran masyarakat miskin sebagai motor penggerak sekaligus ‘melembagakan' dan ‘membudayakan' kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan, sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan kemiskinan masyarakat setempat. Melalui kelembagaan diharapkan kelompok masyarakat tidak ada lagi yang terjebak pada lingkaran kemiskinan, pada gilirannya mampu menciptakan lingkungan kota dengan perumahan lebih layak huni, dilengkapi sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri dalam melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selama ini kelembagaan masyarakat lebih banyak dihadirkan dalam konteks legal-politis seperti LKMD atau LMD. Kedua lembaga di tingkat desa ini tidak jarang mengedepankan ketokohan dan kepemimpinan figur tunggal kepala desa. Penokohan seperti ini dengan mengeliminasi tokoh masyarakat lain dianggap mengabaikan kapital sosial yang dimiliki masyarakat.
Model kelembagaan dengan mengedepankan pencitraan seperti di atas dirasakan mempengaruhi peran serta masyarakat.


People Center sebagai wadah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Dimensi pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat pada tahap awal harus dicerminkan melalui interaksi masyarakat. Melalui wadah Community Learning Center (CLC) (UNESCO, 2002) seperangkat pengetahuan dan keterampilan diarahkan untuk mendukung sikap kondusif terhadap peningkatan kapasitas warga masyarakat. Di sejumlah negara CLC ini, diadopsi dalam ujud community center, sedangkan di Indonesia menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Seluruh program pembangunan yang melibatkan masyarakat dan mendasarkan diri pada peran serta aktif masyarakat, pada tahap awal harus menempatkan mereka sebagai subyek pembangunan, termasuk dalam meningkatkan kapasitas diri mereka.
Peningkatan kapasitas dalam diri warga masyarakat diakui dapat menjadi pemicu keinginan untuk tumbuh dan berkembang, baik dalam skala perorangan dan kelompok. Setelah keinginan untuk berubah dimiliki bersama, masyarakat selanjutnya dapat memanfaatkan sumber daya ekonomi lokal, maupun modal sosial lain untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam membangun.
Belajar dari contoh nyata yang ditemukan di Cina, penyelenggaraan model pendidikan di masyarakat dalam bentuk社区(baca: Shequ) telah mampu mengantarkan masyarakat mentransformasikan diri mereka. Bentuk transformasi yang diterima masyarakat antara lain budaya baru yang lebih demokratis. Budaya baru ini menjadikan masyarakat mampu melaksanakan pembangunan secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya dan modal sosial masyarakat sendiri.
Bentuk lain yang hampir sama berhasil mengembangkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan adalah Community Center di Thailand. Melalui community center ini, masyarakat mampu membudidayakan sumber daya ekonomi lokal. Pemerintah Thailand mencanangkan program unggulan potensi ekonomi lokal ini dengan bendera One Tambon One Product (OTOP). Setiap daerah didorong untuk memunculkan produk barang yang memiliki karakteristik berbeda yang bernilai pasar serta ekonomi.
Sekalipun program OTOP ini diilhami oleh program sejenis di Jepang yang dinamakan One Village One Product (OVOP), masyarakat Thailand membuktikan pendekatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat melalui wadah community center lebih optimal.
Dari beberapa diskusi mendalam, ditemukan bahwa keberadaan wadah yang mampu menampung interaksi masyarakat dalam membangun diri mereka, harus diawali oleh proses pendidikan berbentuk penyadaran diri, peningkatan dan penambahan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap baru yang akomodatif terhadap perubahan. Interaksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan peningkatan dan penambahan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap baru semakin berdimensi luas disbanding dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pendidikan di luar sekolah atau Pendidikan Non Formal pada gilirannya harus memainkan peranan penting.
Tidak dapat dipungkiri lagi, apapun bentuk dan program pembangunan masyarakat oleh berbagai departemen, penyadaran awal melalui proses pendidikan adalah hal mutlak. Akan tetapi, penyadaran seperti itu berlangsung secara temporer sejalan dengan tenggat waktu pelaksanaan proyek sebuah pembangunan. Hal ini berseberangan dengan hakekat proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat. Sehingga sudah saatnya pula, proses pemberdayaan masyarakat harus mengedepankan proses pendidikan yang berlangsung lebih lama dibandingkan sekedar pemenuhan target proyek fisik semata. Karena, pembentukan sikap masyarakat berlangsung secara akumulasi. Akumulasi sikap yang intangible ini akan menjadi parameter penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pembangunan di masa mendatang. Akan tetapi penyelenggara pembangunan fisik di masyarakat, lebih banyak tidak menghiraukan akumulasi sikap seperti ini. Sehingga kerap program pembangunan menumbuhkan kebingungan dan menjadikan masyarakat sekedar memenuhi target yang diminta.
Pembangunan yang mementingkan kelanggengan hasil dan manfaat harus serta merta menempatkan masyarakat sebagai stakeholder di awal perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasil. Mengabaikan salah satu di antaranya akan mengurangi makna penting upaya pembangunan itu sendiri. Berbagai bentuk interaksi dan peran serta masyarakat dapat diakomodasi dalam wadah people center.
Kegamangan pemerintah terhadap penyelenggaraan people center sebagai lembaga pendidikan non formal seperti ini berbanding lurus dengan keterbatasan pemahaman pemutus kebijakan dalam memahami pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan lebih diukur dengan berapa banyak komposisi barang material yang disumbangkan masyarakat terhadap dana stimulan pemerintah. Padahal komposisi immaterial milik masyarakat seperti proses pengambilan keputusan dan modal sosial lain juga perlu diperhitungkan.
Kebijakan yang mendukung terhadap perwujudan people center saat ini masih bersifat sektoral bahkan berlangsung dalam skala ujicoba. Bandingkan antara lain sejumlah penyelenggaraan berbasis komunitas seperti kelompencapir – departemen penerangan, kelompok tani – departemen pertanian, pengelolaan hutan oleh masyarakat – departemen kehutanan, P2KP – departemen pekerjaan umum, PKBM – departemen pendidikan, keluarga sejahtera – BKKBN, Posyandu; dasa wisma – PKK/Meneg UPW, Rumah Srikadi – Menko Kesra. Pelaksana di masing departemen memanfaatkan kondisi nyata masyarakat namun tidak memiliki sasaran tembak yang tepat, lebih dari sekedar memberondong nyamuk menggunakan senapan berkaliber besar. Seandainya ditetapkan pelaksanaan pembangunan yang mengentaskan kemiskinan seperti ‘snipper’ penembak jitu, maka keberadaan masyarakat dapat menjadi pemandu sasaran yang mengamati secara seksama masalah dan dimensi kemiskinan itu sendiri.
Keterampilan dan sikap masyarakat sebagai pemandu sasaran ‘penembak jitu’ dalam mengentaskan harus senantiasa berkembang dari waktu ke waktu melalui peningkatan dan penambahan pengetahuan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila akses peningkatan dan penambahan pengetahuan yang dinamakan ‘industri intelegensia’ secara luas tersedia di masyarakat. Sekolah di satu sisi sisi menawarkan peran sebagai ‘knowledge center’, namun keterbatasan yang mewarnai karakteristik sekolah tidak member keleluasaan bagi masyarakat. Masyarakat untuk membangun menghendaki akses ‘knowledge center’ tanpa batas seperti ditawarkan oleh people center. Sekolah hanya diperuntukkan untuk mereka yang terdaftar sebagai murid atau peserta didik. Sedangkan kebutuhan akses peningkatan pengetahuan diperlukan oleh setiap anggota yang tidak lagi sekolah.
People center sebagai wadah pemupukan intelegensia masyarakat menjadi krusial dan sudah saatnya dipikirkan dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
Kesimpulan dan Analisa
Penyelenggaraan knowledge center memerlukan prasayarat pokok berupa ketetapan hati segenap stake holder baik pemerintah, maupun masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan dalam melaksanakan pembangunan.
Penempatan masyarakat sebagai pelaku pembangunan harus disertai dengan unjuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mumpuni dalam merencanakan, melaksanakan dan melanggengkan proses dan hasil pembangunan. Begitu pula, penyediaan akses ‘knowledge center’ harus memperhatikan parameter yang ditunjukkan oleh penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tepat.

Bacaan lebih lanjut:
  1. Menko Kesra Resmikan Rumah Srikandi RW Siaga Mandiri, http://www.menkokesra.go.id/content/view/6154/39/ (111207)
  2. Manual for the Implementation of Community Learning Center, UNESCO Bangkok. 1999.
  3. Critical Issues in Education. Jack L. Nelson et.al. (2000). McGraw-Hill: Boston et.al.
  4. Sustainable Development. David Reid. (1995). Earthscan: London.
  5. Financing Education – Investment and Returns. UNESCO Institute For Statistic. (2002). Organization for economic Co-Operation and Development.
  6. Education Policy Analysis. OECD (2002). Organization for economic Co-Operation and Development.
  7. Non Formal Education Roadmap. Office of The Non-Formal Education Commission. (2006). Office of the Permanent Secretary Ministry of Education of Kingdom of Thailand.
  8. Modernization in China: The Effects on Its People and Economic Development. (2004). Foreign Language Press: Beijing.