Tuesday, October 28, 2008

Menggagas Pusat Kegiatan berbasis Masyarakat (People Center)

Tranformasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai wahana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan

A. Pendidikan Berbasis Masyarakat
Banyak tulisan, dan berbagai pendapat menyatakan pendidikan adalah upaya sangat penting yang harus dipilih sebuah bangsa untuk membangun. Bahkan seminar dan lokakarya di berbagai tingkatan turut mendukung, bahwa pendidikan harus diperhatikan jika sebuah bangsa berkehendak mewujudkan cita-cita seperti mengentaskan kemiskinan, kemudian berujung pada kesejahteraan rakyatnya.
Upaya pendidikan yang dimaksudkan seperti ini bahkan menyita perhatian tidak saja pihak pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Bahkan masalah pendidikan ini menjadi perhatian utama lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation for Education, Science and Culture (UNESCO).
Peran pendidikan terhadap pembangunan dan masyarakat diujudkan dengan beragam pendekatan seperti yang dilakukan perwakilan UNESCO di Asia Pasifik, khususnya dalam Education for Sustainable Development (ESD) dan Asia Pacific Program of Education for All (APPEAL). Dua pendekatan yang kemudian menjadi divisi tersendiri di kantor UNESCO yang berkedudukan di Bangkok ini, berperan besar dalam menyemai pemahaman pendidikan tidak hanya di sekolah formal semata.
Tenyata pula, beberapa kajian akademik di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang telah berubah menjadi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan Universitas pengganti, masih menyisakan bahan ajar berkenaan dengan pendidikan masyarakat, pendidikan orang dewasa, pendidikan luar sekolah dsb. Bahan ajar ini sendiri mengandung pesan pendidikan bukan hanya di sekolah semata atau pendidikan tidak hanya dilakukan di sekolah semata.

B. Pendidikan untuk Pembangunan
Dalam pengamatan sehari-hari, pendidikan yang dilakukan tanpa sekolah menjadi wacana yang tidak umum bahkan sangat asing di telinga masyarakat. Bahkan gagasan mengenai pendidikan tanpa sekolah dianggap mengada-ada, termasuk jika sebagian pihak hendak memprakarsai lembaga ‘Community Learning Centre’ maupun ‘People Learning Center’. Sekolah sebagai lembaga ‘penyemai kecerdasan’ menjadi ad referendum, daya tarik sekolah kemudian semakin kuat dan menjadi adiwacana dalam pemikiran dan tindakan masyarakat.
Modal membangun kecerdasan seperti dimaksudkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tiga jalur utama; pendidikan formal, non formal dan informal. Untuk dua jalur terakhir, kalangan pendidikan mensinergikannya dalam satu wadah, sehingga jalur pendidikan dikelompokkan dalam pendidikan formal dan nonformal/informal.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menyegarkan pemikiran terhadap kenyataan upaya pendidikan melalui lembaga di luar sekolah. Selain tentu saja mengajak, pemerhati dan praktisi pendidikan untuk turut menjelajahi pilihan praksis pendidikan di luar sekolah bukan hanya sekedar pengajaran di luar sekolah semata. Sehingga pada gilirannya dapat dipelopori berbagai tindakan awal menuju perbaikan kualitas bangsa dan negara.
Sebagai tambahan, tulisan ini dimaksudkan pula untuk memunculkan dan mencetuskan pemikiran dan gagasan pendidikan luar sekolah di tengah wacana yang memaparkan pendidikan sekolah kehilangan superioritas dalam menjawab tantangan bangsa dan negara Indonesia lima tahun mendatang. Keterpurukan sejak krisis ekonomi tahun 1998, ditenggarai menjadi tantangan bagi dunia pendidikan untuk memikirkan upaya di luar pakem pemahaman dan aturan yang dijadikan acuan selama ini.
Bahwa pendidikan selama ini disangsikan mampu menghantarkan bangsa Indonesia lebih tangguh menghadapi krisis, bisa dibenarkan. Hal ini karena pendidikan tidak mampu membangkitkan energi pada masyarakat untuk proaktif menjegal krisis termasuk perubahan yang menyertai. Pendidikan memang bukan salah satu penyebab utama, banyak sebab lain, namun pendidikan sebagaimana sering disebutkan harus turut menawarkan pilihan untuk membangun kesadaran untuk tidak hanya berlaku reaktif terhadap perubahan, dibandingkan hanya mampu menyalahkan diri sendiri tanpa berbuat apapun.

C. Pembangunan di Negara Berkembang
Praktek pembangunan yang dilakukan di negara berkembang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dan penyelenggaraan pendidikan baik mikro maupun makro kehidupan dan masa depan masyarakat suatu negara. Kepentingan ini, dapat dilihat sekurang-kurangnya dari potensi pendidikan: (Shane,1984:38-40)
1. Wahana untuk implementasi nilai-nilai masyakarat yang berubah dan hasrat masyarakat yang muncul yang menimbulkan nilai-nilai baru.
2. Banyak masalah pokok dapat diatasi dengan pendidikan, jika pengertian tentang tujuan pendidikan dapat diperoleh kembali.
3. Timbulnya fleksibilitas dan respon terhadap perubahan dan alternatif pendidikan.
4. Perbaikan iklim psikologis kemampuan untuk berkontribusi menjadi tidak berarti tanpa motivasi untuk berkorban.
Berkenaan dengan implementasi nilai-nilai masyakarat, pembangunan tidak saja berurusan dengan penyediaan sandang, pangan dan papan semata. Pembangunan juga harus memperhatikan bidang psikis individu seperti nilai-nilai, persepsi dan termasuk pula semangat. Ketiga bidang psikis ini dalam proses pembangunan mengalami transformasi, sebut saja sebagai contoh nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan. Selama proses pembangunan terjadi seringkali dijumpai pertentangan niliai yang bersumber pada kepentingan yang berbeda antara pembangunan suatu kawasan dengan peletarian kawasan tersebut. Pertentangan semacam ini bukan secara sederhana terletak pada persoalan peruntukan dan tata guna lahan, akan tetapi lebih pada bagaimana suatu lahan dianggap memiliki nilai bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Keberadaan nilai ini kerap kali tidak dapat ditakar secara materi atau bentuk nominal lainnya.
Pengertian tentang tujuan pendidikan seperti dikatakan Nettleford (Lowe, 1970:13) preparing people not for examinations and certificates but for their own.

D. Pemberdayaan Masyarakat sebagai pilar Penanggulangan Masalah Lingkungan.
Masalah
kemiskinan di Indonesia sudah lama menjadi fokus perhatian dan mencetuskan banyak program pengentasan kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan telah diluncurkan oleh pemerintah, antara lain: Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1994, Proyek Peningkatan Desa Tertinggal (P3DT), Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK), Pengembangan Kawasan Tertinggal (PKT) tahun 1989 – 1994. Semua program yang digagas untuk mengentaskan kemiskinan belum menunjukkan hasil optimal. Beberapa kelemahan yang nampak kemudian adalah:
1. koordinasi antara perencanaan dan pelaksanaan program baik dalam departemen maupun antar departemen belum optimal,
2. keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan program belum maskimal,
3. kelanjutan program masih dipandang sebagai proyek temporer,
4. masyarakat miskin cenderung menjadi sasaran ‘obyek’ program dibandingkan ‘subyek’.
Kenyataan di atas telah memberikan dampak lanjutan yang secara nyata dapat diukur berdasarkan:
1. Akses terhadap prasarana maupun sarana dasar lingkungan secara memadai,
2. Kualitas perumahan dan permukiman di bawah standar kelayakan, serta
3. Mata pencaharian yang tidak menentu.
Selama ini banyak pihak melihat persoalan lingkungan hanya tertuju pada tataran gejala-gejala yang tampak luar yang kasat mata dibanding konteks dan hakekat masalah lingkungan itu sendiri.
Padahal masalah lingkungan mencakup masalah multidimensi baik politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari dimensi-dimensi gejala-gejala masalah lingkungan tersebut dapat dipahami di bawah ini, seperti antara lain :
• Dimensi Politik, berbentuk kelangkaan wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan. Sehingga masyarakat benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut lingkungan diri. Akibat dari ini, mereka tidak memiliki akses memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk mendukung hidup secara layak, termasuk akses informasi;
• Dimensi Sosial, kerap menempatkan masyarakat tidak berintegrasi ke dalam institusi sosial yang memperhatikan lingkungan, hal ini menyebabkan internalisasi budaya yang merusak kualitas manusia dan etos kerja mereka, termasuk nilai-nilai kapital sosial yang semakin pudar;
• Dimensi pendidikan menonjol dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang tidak berorientasi pada lingkungan pembangunan berkelanjutan sehingga cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman;
• Dimensi Ekonomi antara lain berujud pilihan sumber penghasilan masyarakat sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa melampaui daya dukung lingkungan yang layak; dan
• Dimensi Aset, ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan, dan sebagainya.
Karakteristik masalah lingkungan yang dipaparkan terakhir telah menyadarkan semua pihak terhadap isu sentral perusakan lingkungan. Isu tersebut adalah pendekatan dan cara penanggulangan masalah lingkungan yang mengandalkan penguatan kelembagaan masyarakat.
Penguatan melalui pemberdayaan kelembagaan masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun organisasi masyarakat agar mampu menjadi wadah bagi masyarakat miskin untuk memperjuangkan diri, hidup mandiri dan secara berkelanjutan menyuarakan aspirasi maupun kebutuhan mereka. Di lain pihak penguatan ini, diharapkan mampu memberikan sumbangan potisitf terhadap proses pengambilan keputusan berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal, baik aspek sosial, ekonomi maupun lingkungan.
Penguatan kelembagaan masyarakat ini pun dititikberatkan pada upaya pemberdayaan peran masyarakat sebagai motor penggerak sekaligus ‘melembagakan' dan ‘membudayakan' kembali nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan, sebagai nilai-nilai utama yang melandasi aktivitas penanggulangan masalah lingkungan masyarakat setempat. Melalui kelembagaan diharapkan kelompok masyarakat tidak ada lagi yang terjebak pada perusakan lingkungan, pada gilirannya mampu menciptakan lingkungan dengan perumahan lebih layak huni, dilengkapi sistem sosial masyarakat yang lebih mandiri dalam melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selama ini kelembagaan masyarakat lebih banyak dihadirkan dalam konteks legal-politis seperti LKMD atau LMD. Kedua lembaga di tingkat desa ini tidak jarang mengedepankan ketokohan dan kepemimpinan figur tunggal kepala desa. Penokohan seperti ini dengan mengeliminasi tokoh masyarakat lain dianggap mengabaikan kapital sosial yang dimiliki masyarakat.
Model kelembagaan dengan mengedepankan pencitraan seperti di atas dirasakan mempengaruhi peran serta masyarakat. Padahal sesungguhnya masyarakat menyimpan daya dukung dan daya dorong dalam setiap hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka, tidak terkecuali dimensi lingkungan.

E. People Center sebagai wadah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan.
Dimensi pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat pada tahap awal harus dicerminkan melalui interaksi masyarakat. Melalui wadah Community Learning Center (CLC) (UNESCO, 2002) seperangkat pengetahuan dan keterampilan diarahkan untuk mendukung sikap kondusif terhadap peningkatan kapasitas warga masyarakat. Di sejumlah negara, CLC ini diadopsi dalam ujud community center, sedangkan di Indonesia menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Seluruh program pembangunan yang melibatkan masyarakat dan mendasarkan diri pada peran serta aktif masyarakat, pada tahap awal harus menempatkan mereka sebagai subyek pembangunan, termasuk dalam meningkatkan kapasitas diri mereka.
Peningkatan kapasitas dalam diri warga masyarakat diakui dapat menjadi pemicu keinginan untuk tumbuh dan berkembang, baik dalam skala perorangan dan kelompok. Setelah keinginan untuk berubah dimiliki bersama, masyarakat selanjutnya dapat memanfaatkan sumber daya ekonomi lokal, maupun modal sosial lain untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam membangun.
Belajar dari contoh nyata yang ditemukan di Cina, penyelenggaraan model pendidikan di masyarakat dalam bentuk 社区(baca: Shequ) telah mampu mengantarkan masyarakat mentransformasikan diri mereka. Bentuk transformasi yang diterima masyarakat antara lain budaya baru yang lebih demokratis. Budaya baru ini menjadikan masyarakat mampu melaksanakan pembangunan secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya dan modal sosial masyarakat sendiri.
Bentuk lain yang hampir sama berhasil mengembangkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan adalah Community Center di Thailand. Melalui community center ini, masyarakat mampu membudidayakan sumber daya ekonomi lokal. Pemerintah Thailand mencanangkan program unggulan potensi ekonomi lokal ini dengan bendera One Tambon One Product (OTOP). Setiap daerah didorong untuk memunculkan produk barang yang memiliki karakteristik berbeda yang bernilai pasar serta ekonomi. Tentu saja berbasis daya dukung lingkungan setempat.
Sekalipun program OTOP ini diilhami oleh program sejenis di Jepang yang dinamakan One Village One Product (OVOP), masyarakat Thailand membuktikan pendekatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat melalui wadah community center lebih optimal.
Dari beberapa diskusi mendalam, ditemukan bahwa keberadaan wadah yang mampu menampung interaksi masyarakat dalam membangun diri mereka, harus diawali oleh proses pendidikan berbentuk penyadaran diri, peningkatan dan penambahan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap baru yang akomodatif terhadap perubahan. Interaksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan peningkatan dan penambahan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap baru semakin berdimensi luas disbanding dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pendidikan di luar sekolah atau Pendidikan Non Formal pada gilirannya harus memainkan peranan penting.
Tidak dapat dipungkiri lagi, apapun bentuk dan program pembangunan masyarakat oleh berbagai departemen, penyadaran awal melalui proses pendidikan adalah hal mutlak. Akan tetapi, penyadaran seperti itu berlangsung secara temporer sejalan dengan tenggat waktu pelaksanaan proyek sebuah pembangunan. Hal ini berseberangan dengan hakekat proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat. Sehingga sudah saatnya pula, proses pemberdayaan masyarakat harus mengedepankan proses pendidikan yang berlangsung lebih lama dibandingkan sekedar pemenuhan target proyek fisik semata. Karena, pembentukan sikap masyarakat berlangsung secara akumulasi. Akumulasi sikap yang intangible ini akan menjadi parameter penting bagi keberhasilan penyelenggaraan pembangunan di masa mendatang. Akan tetapi penyelenggara pembangunan fisik di masyarakat, lebih banyak tidak menghiraukan akumulasi sikap seperti ini. Sehingga kerap program pembangunan menumbuhkan kebingungan dan menjadikan masyarakat sekedar memenuhi target yang diminta.
Pembangunan yang mementingkan kelanggengan hasil dan manfaat harus serta merta menempatkan masyarakat sebagai stakeholder di awal perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasil. Mengabaikan salah satu di antaranya akan mengurangi makna penting upaya pembangunan itu sendiri. Berbagai bentuk interaksi dan peran serta masyarakat dapat diakomodasi dalam wadah people center.
Kegamangan pemerintah terhadap penyelenggaraan people center sebagai lembaga pendidikan non formal seperti ini berbanding lurus dengan keterbatasan pemahaman pemutus kebijakan dalam memahami pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan lebih diukur dengan berapa banyak komposisi barang material yang disumbangkan masyarakat terhadap dana stimulan pemerintah. Padahal komposisi immaterial milik masyarakat seperti proses pengambilan keputusan dan modal sosial lain juga perlu diperhitungkan.
Kebijakan yang mendukung terhadap perwujudan people center saat ini masih bersifat sektoral bahkan berlangsung dalam skala ujicoba. Bandingkan antara lain sejumlah penyelenggaraan berbasis komunitas seperti kelompencapir – departemen penerangan, kelompok tani – departemen pertanian, pengelolaan hutan oleh masyarakat – departemen kehutanan, P2KP – departemen pekerjaan umum, PKBM – departemen pendidikan, keluarga sejahtera – BKKBN, Posyandu; dasa wisma – PKK/Meneg UPW, Rumah Srikadi – Menko Kesra. Pelaksana di masing departemen memanfaatkan kondisi nyata masyarakat namun tidak memiliki sasaran tembak yang tepat, lebih dari sekedar memberondong nyamuk menggunakan senapan berkaliber besar. Seandainya ditetapkan pelaksanaan pembangunan yang mengentaskan kemiskinan seperti ‘snipper’ penembak jitu, maka keberadaan masyarakat dapat menjadi pemandu sasaran yang mengamati secara seksama masalah dan dimensi kemiskinan itu sendiri.
Keterampilan dan sikap masyarakat sebagai pemandu sasaran ‘penembak jitu’ dalam mengentaskan harus senantiasa berkembang dari waktu ke waktu melalui peningkatan dan penambahan pengetahuan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila akses peningkatan dan penambahan pengetahuan yang dinamakan ‘industri intelegensia’ secara luas tersedia di masyarakat. Sekolah di satu sisi sisi menawarkan peran sebagai ‘knowledge center’, namun keterbatasan yang mewarnai karakteristik sekolah tidak member keleluasaan bagi masyarakat. Masyarakat untuk membangun menghendaki akses ‘knowledge center’ tanpa batas seperti ditawarkan oleh people center. Sekolah hanya diperuntukkan untuk mereka yang terdaftar sebagai murid atau peserta didik. Sedangkan kebutuhan akses peningkatan pengetahuan diperlukan oleh setiap anggota yang tidak lagi sekolah.
People center sebagai wadah pemupukan intelegensia masyarakat menjadi krusial dan sudah saatnya dipikirkan dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan masyarakat

F. Dari Filsafat Pendidikan menjadi Filsafat Keaksaraan (Literacy)
Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diundangkan memiliki tiga jalur sebagai wahana pencapaian tujuan. Secara ideal, ketiga jalur tersebut mendapat perhatian sepadan, bahkan pemerintah tidak memilah dan membedakan ketiga jalur pendidkan tersebut. Namun beragam keterbatasan dimiliki pemerintah dalam menghantarkan ketiga jalur tersebut sebagai inti layanan pendidikan bagi seluruh rakyat. Diiringi persepsi dan kebiasaan masyarakat terhadap layanan pendidikan, tidak mengherankan apabila diantara ketiga jalur layanan tersebut, pendidikan sekolah lebih menyita perhatian termasuk kebijakan pengembangan dan penetapan program. Kondisi tersebut selain menciptakan ketimpangan juga menyemai ketidakadilan perlakuan baik terhadap penyelenggara, sasaran dan program pendidikan. Kalau pun ketiga jalur memiliki keunggulan masing-masing, seyogyanya karakteristik masing-masing mendapat porsi perhatian seperti paket kebijakan yang sesuai. Paparan karakteristik jalur pendidikan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai dasar memahami tulisan ini adalah:
a. Jalur Pendidikan Formal (PF)
b. Jalur Pendidikan Non Formal (PNF)
c. Jalur Pendidikan In Formal (PIF)
Hingga pergantian kabinet menyusul keruntuhan orde baru, PF masih memegang kunci dalam menetapkan arah dan acuan pendidikan nasional. Bahkan sumber daya yang digunakan untuk menjalankan kebijakan berkiblat pada pendidikan formal menjadi porsi terbesar anggaran belanja pendidikan. Selain itu, ketimpangan dapat dilihat dari jumlah bidang yang menangani pendidikan formal, dibanding dua jalur pendidikan yang lain. Sebut saja tingkatan direktorat jenderal membidangi setiap jenjang pendidikan formal; direktorat jenderal pendidikan dasar, direktorat jenderal menengah dan lanjutan, dan direktorat jenderal pendidikan tinggi. Berbeda dengan jenjang urusan jalur pendidikan non formal yang hanya ditangani cukup direktorat jenderal Pendidikan luar sekolah membawahi direktorat pendidikan masyarakat, dan direktorat kursus. Direktorat Pendidikan Masyarakat yang menangani pemberantasan buta aksara, kejar Paket A, kejar Paket B, dan kemudian Paket C jelas tidak seimbang dibandingkan dengan porsi ketiga direktorat jenderal pendidikan dasar, pendidikan menengah dan lanjutan pada jalur pendidikan formal. Pengelompokkan urusan dan pembagian bidang kerja yang tidak seimbang diantara dua jalur layanan pendidikan, telah menyebabkan upaya pendidikan di luar sekolah tidak menempatkan lebih dari sekedar ‘penambal’ pendidikan sekolah. Manakala pendidikan sekolah dianggap gagal, pendidikan di luar sekolah tetap tidak dapat memberikan sumbangan sebagai aktor yang berperan dalam mencerdaskan bangsa dan masyarakat.
Dalam perkembangan berikutnya, meskipun dilakukan pembenahan di jalur direktorat jenderal ‘pendidikan formal’, perubahan ini belum memberikan dampak terhadap kiprah pendidikan non formal sejalan dengan pandangan sebelah mata yang diberikan terhadap pendidikan non formal. Penyelenggaraan pendidikan nasional seperti ini tidak lepas dari pandangan politik yang berlaku.
Penanganan krisis multi dimensi yang tidak kunjung berkesudahan berujung pada permasalahan kapasitas dan karakteristik tingkat pendidikan milik masyarakat. Sehingga pangkal masalah berujung pada bagaimana penyelenggaraan pendidikan mampu meningkatkan ketahanan dan ketangguhan masyarakat. Suatu bangsa akan berhasil dalam pembangunannya secara ‘self propelling’ dan tumbuh maju apabila telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi dengan pembangunan) dalam pendidikan penduduknya (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, 1984:79). Kegagalan dunia pendidikan yang dikuasai kebijakan jalur formal, dengan mengabaikan potensi pendidikan non formal dan informal telah meniadakan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas dan kecerdasan diri mereka sendiri. Pendidikan sebagai syarat penting dan komponen utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak semata dikendalikan oleh pelaku tunggal seperti pendidikan formal, namun juga harus didukung pelaku lain yaitu pendidikan non formal dan in formal. Kebijakan pendidikan bagi William R. Ewald Jr. (1968:38) An education system is a political phenomenon ... taken serious everywhere. Individuals are conviced that they need it, or at least the formal indicia of it ... means of attaining power and prosperity.
Kiprah pendidikan terhadap pembangunan dan peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat semakin mengemuka dan menyadarkan banyak praktisi pendidikan. Hal ini sejalan dengan kegagalan pendidikan formal yakni sekolah untuk bertindak menjadi pelaku utama, sekolah makin lama makin tidak mampu melaksanakan fungsi mereka sekarang (Shane,1984:20)
Dalam konteks pembangunan secara umum, kesertaan masyarakat dalam proses membangun diri sendiri menjadi kriteria keberhasilan proses pembangunan. Kemandirian dan kematangan masyarakat suatu bangsa yang berakumulasi berperan penting dalam mendukung arah dan keberhasilan penyelenggaraan pembangunan.
Pendidikan dasar sembilan tahun dengan titik berat pada penguasaan ketermpilan dasar (baca-tulis-hitung) dan pengetahuan dasar meliputi pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan lingkungan alam – sosial – budaya, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan agama (Moegiadi,1992:6) masih belum memenuhi kebutuhan untuk menjadikan bangsa yang besar dan beraneka ragam suku serta budaya seperti Indonesia untuk bertahan di tengah hempasan krisis moneter disusul dampak globalisasi.
Hasil proses pendidikan tidak saja sekedar mensyaratkan keterampilan, pengetahuan dan sikap minimal, bahkan mencakup the behavior and achievements as they function as citizen (Kaufman,1972:10). Dengan demikian, proses pendidikan yang mengutamakan keaksaraan dasar (baca-tulis-hitung) dapat ditransformasikan menjadi keaksaraan lanjutan dengan berbagai muatan sebagaimana isu yang menjadi perhatikan masyarakat seperti lingkungan.
1. Pendidikan Keaksaraan (Literacy) sebagai Arus Utama
Hal ini secara implisit menjadi hak mendapatkan pendidikan yang secara eksplisit melekat pada anak dan orang dewasa, sebagaimana dicantumkan konvensi internasional, termasuk deklarasi PBB. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang memuat hak untuk mendapatkan pendidikan misalnya. Serta beberapa konvensi internasional lainnya, antara lain konvensi untuk melakukan tindakan sipil dan menyatakan hak politik, begitu pula dengan konvensi bidang ekonomi, sosial dan hak budaya yang disepakati tahun 1966. Semuanya menjadi sumber Deklrasi Hak Asasi PBB, termasuk di dalamnya konvensi 1979 mengenai pencegahan tindakan dikriminasi bagi wanita dan konvensi hak hidup anak 1989.
Tahun 1975 menjelang deklarasi inti diterima, keaksaraan menjadi sorotan utama dibandingkan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan itu sendiri. Tahun 1960 ditetapkan konvensi terhadap dikriminasi dalam pendidikan khususnya bagi tiap orang yang tidak dapat menyelesaikan dan mengikuti jenjang pendidikan dasar. Deklarasi Persepolis menuliskan: Keaksaraan bukan berakhir pada penguasaan, tetapi merupakan hak dasar manusia (UNESCO, 1975a). Baik Konvensi Hak Anak (CRC) dan Anti Perlakuan Dikriminasi terhadap Wanita (CEDAW), keduanya mengisyaratkan promosi keaksaraan dan pemberantasan ke-niraksara-an. Misalnya Ayat 10(e) CEDAW yang diterapkan 1981 menegaskan hak orang dewasa untuk melek huruf, dengan melibatkan berbagai elemen untuk memberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan berkelanjutan, seperti program keaksaraan fungsional dan pendidikan orang dewasa. Sedangkan CRC menenggarai keaksaraan sebagai keterampilan pokok dimana setiap anak harus dilibatkan dan ditekankan pada kebutuhan untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan melalui keaksaraan (UNHCR, 1989). Tujuan strategis deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 adalah memberantas buta aksara perempuan.
Deklarasi Anti Dikriminasi Pendidikan (CDE) menggarisbawahi dukungan dan peningkatan metode pendidikan yang sesuai bagi setiap orang yang belum mendapat layanan pendidikan dasar bahkan mereka yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara lengkap serta kelangsungan pendidikan mereka sesuai kapasitas pribadi (UNESCO, 2005). CDE selanjutnya menuntut peningkatan kesempatan keaksaraan melalui pendidikan berkelanjutan.
Banyak tuntutan yang mensyaratkan pembaruan hak atas keaksaraan. Resolusi 11 deklarasi Hamburg menyatakan: ‘keaksaraan, secara umum dimaknai sebagai pengetahuan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan dalam menyikapi perubahan dunia, dan karenanya menjadi hak fundamental seseorang’ (UNESCO, 1977) Laporan konferensi meja bundar UNESCO Keaksaraan sebagai bentuk Kebebasan merekomendasikan bahwa keaksaraan merupakan kerangka dasar pendekatan dan prinsip pengembangan masyarakat (UNESCO, 2005).
Berbeda dari hak keaksaraan yang diusung berbagai pertemuan dan deklarasi, pengertian hak dalam batasan pemberatasan niraksara, sebagaimana CEDAW dan deklarasi Beijing, menyatakan persamaan keaksaraan dengan pengetahuan dan ke-niraksara-an sebagai kebodohan. Keaksaraan pun sebagai bentuk hak mendapat pendidikan dipandang sebagai seperangkat keterampilan pokok pendidikan dasar atau fundamental, sebagaimana disyaratkan CDE.
Sebagaimana dirintis UNESCO, pengertian ‘pendidikan fundamental’ menyiratkan kemampuan membaca, menulis dan menghitung dengan penekanan pada membaca dan menulis (UNESCO, 2005). Sementara menghitung biasanya hanya dijadikan bagian pelengkap formal saja, kata ‘keaksaraan’ sendiri umumnya membatasi diri pada keterampilan membaca dan menulis.
Bagian 1 pendahuluan CRC (ayat 29), misalnya, mengemukakan bahwa ‘keterampilan dasar mencakup tidak hanya keaksaraan dan berhitung tetapi juga life skills [Keterampilan Hidup, pen.]. Dalam kaitan ini, ‘keaksaraan; masih diartikan membaca dan menulis semata.
Deklarasi global pendidikan untuk semua (Jomtien, Thailand, 1990) butir 1.1. merumuskan ‘keaksaraan, komunikasi lisan, berhitung, dan pemecahan masalah menjadi bagian penting pendidikan yang memperkaya pemenuhan kebutuhan belajar mendasar setiap orang.
Gagasan pokok yang menyatakan keaksaraan sebagai kemampuan membaca dan menulis bersumber pada materi pelajaran bahasa yang memungkinkan seseorang belajar menulis dan membaca. Hak mendapat kesempatan belajar bahasa sama sekali berbeda dengan kesempatan belajar yang ditawarkan melalui bahasa. Butir 27 ICCPR menyatakan lebih lanjut hak warga minoritas untuk menggunakan bahasa mereka; hal ini termasuk pengertian menggunakan bahasa minoritas mereka dalam pergaulan sehari-hari yang terbatas. Peraturan internasional mengijinkan setiap negara menggunakan bahasa resmi kenegaraan masing-masing. Begitu pula sekolah umum dapat menggunakan bahasa resmi tersebut di samping bahasa daerah setempat. Di Namibia misalnya, program keaksaraan ditempuh dalam tiga tingkatan, kelas pertama dan dua menggunakan bahasa ibu, dan kelas tiga memakai bahasa Inggris bagi pemula, sehinga warga belajar dengan kemampuan keaksaraan berbeda dapat mengikuti seluruh proses pendidikan. Kenyataan pendidikan umum hanya menggunakan bahasa resmi sebagai pengantar, hal ini bisa dikaitan dengan hakekat asasi yakni keragaman dalam pendidikan, termasuk bahasa dalam menyampaikan bahan pelajaran, termasuk jaminan kesempatan mengembangkan sekolah khusus. Perkembangan tuntutan pendidikan formal dwi-bahasa telah memberikan dampak terhadap program pemuda dan orang dewasa dalam pendidikan non formal.
Banyak tulisan, termasuk persepolis dan deklarasi hamburg, mensyaratkan wawasan keaksaraan secara lebih luas dari sekedar kemampuan baca dan tulis saja. Keaksaraan juga melingkupi akses terhadap ilmu pengetahuan dan tehnik, penguasaan informasi termasuk menikmati manfaat budaya dan penggunaan media, baik itu untuk meningkatkan kemampuan diri dalam bekerja atau tidak sama sekali. Keaksaraan juga mencakup batasan pendidikan fundamental, kemajemukan life skill untuk beragam situasi; sebagai contoh, butir 22 konvensi berkenaan dengan pengungsi yang menjamin setiap pengungsi memperoleh perlakukan sama di tiap negara yang ditinggali setingkat pendidikan dasar. Selain itu, keaksaraan menjadi alat pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus meningkatkan peran serta dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi, khususnya bagi anggota masyarakat di daerah tertinggal. Perhatian pada pengembangan pendidikan seumur hidup secara inklusif menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan hidup universal dan hak keaksaraan.
Sebagai tambahan, peningkatan keaksaraan pun ditopang kegiatan bidang teknologi, keterlibatan masyarakat sipil dan belajar sepanjang hayat. UNESCO senantiasa menciptakan dukungan untuk penyebaran informasi, menumbuhkembangkan teknologi komunikasi untuk menjembatani dan mendayagunakan keragaman budaya dan bahasa. Program bantuan PBB (UNDP) menyatakan bahwa penguasaan pengetahuan, kesempatan mendayagunakan potensi untuk meningkatkan standar kehidupan serta berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan prasyarat mutlak pembangunan umat manusia. Pemanfaatan wahana ini, kemampuan dan beragam potensi sumber daya akan menjamin perkembangan keaksaraan.
Keaksaraan dengan sendirinya sangat erat berkaitan dengan upaya pendidikan berkelanjutan atau belajar sepanjang hayat.
Akhirnya, keaksaraan dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu hal mutlak melainkan sebagai mekanisme untuk mencapai hak asasi, hanya hak asasi mendapatkan pendidikan sebagai satu-satunya alat memerangi keniraksaraan.
Oleh karena itu keaksaraan harus didukung sebagai mainstream pendidikan melengkapi kecakapan hidup dan gender yang telah ditetapak lebih awal.
2. Keaksaraan (keaksaraan) sebagai energi pemberdayaan
Latar belakang keaksaraan dipandang sebagai hak digambarkan oleh manfaat yang bisa dirasakan oleh pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Apalagi, jelas dalam kehidupan masyarakat modern, ‘kemampuan keaksaraan sangat dibutuhkan untuk menentukan pengambilan keputusan, pengembangan pribadi, keterlibatan aktif dan pasif baik di tingkat lokal maupun masyarakat global. Manfaat keaksaraan dapat dirasakan sejalan dengan perluasan hak dan pengembangan di berbagai tempat dan pelaksanaan secara efektif. Manfaat pribadi, misalnya, diujudkan melalui media tertulis yang dapat ditemukan di kelompok masyarakat modern, dan manfaat ekonomi secara luas dapat diujudkan melalui kerangka makroekonomi, investasi bidang prasarana dan berbagai kebijakan pembangunan yang relevan.
Dengan kata lain, berbagai keuntungan, seperti halnya pemberdayaan perempuan, dan penanggulangan masalah lingkungan akan menampakkan hasilnya jika disertai dukungan lingkungan sosial budaya yang kondusif.
Di lain pihak, pengaruh buruk keaksaraan dapat berkembang bergantung pada pemanfaatan keaksaraan dibanding hakikat keaksaraan itu sendiri – manfaat positif pun sepenuhnya bergantung pada media bagaimana keaksaraan dibutuhkan dan dilakukan. Beberapa diantaranya dapat cukup mengesankan. Misalnya, tuntutan keaksaraan dalam bahasa tulisan menyebabkan dibatasinya bahasa lisan. Program keaksaraan dan media tertulis lainnya dapat menjadi wahana agar setiap orang terlibat tanpa ragu dalam percaturan sistem pandangan politik tertentu.
Beberapa pertimbangan tersendiri diperlukan dalam mengkaji beberapa butir laporan di bawah ini. Secara sistematis, bukti manfaat keaksaraan untuk alasan tertentu tidak dapat dengan gampang ditampilkan.
• Kebanyakan penelitian keaksaraan menyatukannya dengan kegiatan belajar di sekolah dan kegiatan keaksaraan orang dewasa. Pada umumnya, ditemukan ‘kecenderungan untuk menyama-ratakan pengertian sekolah, pendidikan, keaksaraan dan pengetahuan.
• Kurang sekali penelitian yang ditujukan kepada program keaksaraan orang dewasa (sebagai padanan pendidikan formal) termasuk kajian yang memperhatikan masalah wanita. Sehingga muncul kesan keaksaraan orang dewasa dianggap tidak penting dibandingkan dengan hal yang sama bagi anak-anak di pendidikan formal.
• Penelitian juga banyak dilakukan terhadap pengaruh keaksaraan secara perorangan: jarang dijumpai penelitian yang mengkaji dampak keaksaraan untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan kancah international.
• Beberapa kasus manfaat keaksaraan, misalnya bagi kebudayaan, masih sulit untuk dilakukan pengukurannya.
• Keaksaraan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan masih belum konsisten dan data yang dianggap berkaitan masih dirasakan mengambang.
Manfaat pendidikan secara umum yang pada saat sama menggarisbawahi manfaat keaksaraan bagi orang dewasa. Keterbatasan bukti pendukung hasil belajar pengetahuan program keaksaraan orang dewasa menjadikan hasil belajar pendidikan ‘sekolah’ kerap dijadikan acuan. Kemampuan kognisi yang dapat diukur memang telah digunakan atau setidaknya dilakukan pengukuran berapa lama suatu pengaruh program masih bisa dirasakan. Hasil dari kedua pengukuran tersebut merupakan prioritas utama penelitian keaksaraan selama ini.
Perlu dijadikan catatan pula, program keaksaraan dewasa kini dapat menciptakan lebih banyak hasil bermuatan khusus, katakan saja penumbuhan kesadaran politik, pemberdayaan, refleksi kritis dan gerakan massa yang tidak bisa dikelompokkan sebagai proses pendidikan ‘sekolah’ formal. Dalam hal ini, jelas keuntungan dalam mengikuti program keaksaraan orang dewasa meliputi proses menimba pengalaman positif dan keterlibatan dalam ruang kelompok masyarakat keaksaraan5. Hal yang kurang mendapat porsi perhatian adalah manfaat pada dimensi pengembangan kapasitas diri, termasuk keterlibatan sosial, kesertaan sosial dan manfaat sosial lainnya.
Sehingga tanpa diragukan lagi dapat diakui seandainya manfaat keaksaraan mencakup diri pribadi, politik, budaya, sosial dan ekonomi, termasuk lingkungan.
Dua penelitian menyatakan bahwa manfaat keaksaraan terhadap pertumbuhan ekonomi bergantung pada tahapan pencapaian derajat keaksaraan. Azariadis dan Drazen (IBRD,2000) menemukan pengaruh ‘berangkai’: negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang menyakinkan sebagai dampak kebijakan alih teknologi, berhasil mencapai angka keaksaraan lebih awal sekurang-kurangnya 40 %, sebagai temuan umum penelitian modernisasi perekonomian era tahun 60-an. Sachs dan Warner (IBRD,2000) memperlihatkan secara statistik hubungan kurva S pengaruh maksimum dimana derajat keaksaraan mencapai tingkat tertinggi maupun sebaliknya. Hasilnya, perubahan di tingkat tertinggi dan terendah sama sekali tidak memberikan dampak pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada tingkat rata-rata memberikan dampak berarti di sejumlah negara berkembang.
Sekalipun terdapat bukti keterkaitan keaksaraan dan pertumbuhan ekonomi, mekanisme keduanya belum bisa dijelaskan lebih lanjut. Belakangan sumbangan pendidikan terhadap efisiensi ekonomi justeru terletak pada hal mendasar selama proses pertumbuhan itu berlangsung, dimana teknologi baru dan tenaga ahli yang dihasilkan proses pendidikan saling bersinggungan. Mereka yang memiliki kesempatan banyak memperoleh pengetahuan, adalah mereka yang dapat menimba keuntungan ekonomi lebih banyak.
Dengan demikian, derajat rerata keaksaraan suatu populasi merupakan indikator sesungguhnya pertumbuhan bukan dengan melihat persentase populasi dengan derajat keaksaraan paling tinggi. Dengan kata lain, sebuah negara yang menonjolkan upaya penguatan kemampuan keaksaraan masyarakatnya akan berhasil guna dalam menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan dibanding dengan mengatasi kesenjangan antara kelompok berkemampuan aksara tinggi dengan kelompok yang memiliki kemampuan rendah.
3. Nilai Tambah Investasi Keaksaraan (Literacy)
Sampai hari ini masih jadi bahan perdebatan, berapa besar keuntungan bisa diperoleh dari pembiayaan pendidikan dasar bagi orang dewasa dibandingkan dengan pembiayaan sekolah formal. Di beberapa negara, biaya pendidikan dasar bagi orang dewasa setahun dianggarkan sebesar pengeluaran pendidikan dasar kelas 3 dan 4 (UNESCO, 2006) Dengan begitu, melihat biaya relatif yang dikeluarkan, pendidikan dasar bagi dewasa sangat efektif. Hal ini, jika dibandingkan dengan tingkat pencapaian pengetahuan program keaksaraan dibandingkan dengan hasil pengetahuan yang diperoleh murid kelas 4 (UNESCO, 2000)
Telaah terhadap empat proyek keaksaraan di tiga negara (Bangladesh, Ghana dan Senegal) antara 1997 dan 2002 menyebutkan biaya per warga belajar hingga menyelesaikan program mencapai kisaran 13 % sampai 33 % biaya yang dikeluarkan seorang murid kelas empat sekolah dasar. Dalam kenyataan, masih dijumpai murid sekolah yang menyelesaikan pendidikan dasar keaksaraan lebih dari empat tahun, sehingga anggaran bisa bertambah. Hal yang patut dicatat, kenyataan tersebut hampir sama dibandingkan dengan biaya relatif yang diusulkan tiga puluh tahun lalu selama dicanangkan ‘Experimental World Literacy Programme’ (UNESCO, 2000) di tujuh dari delapan negara yang diujicoba, keaksaraan lebih ringan di ongkos dilihat dari warga belajar dewasa yang berhasil menyelesaikan program dengan penghematan berkisar 85 % hingga 2 %; sedangkan di satu negara yang diujicoba pendidikan dasar sekolah justeru lebih murah.
Perbandingan keuntungan relatif biaya pendidikan dasar dengan pendidikan lain sering menjadi topik hangat belakangan ini. Bahkan sering keuntungan atas biaya pendidikan sering dimunculkan lebih besar. Tidak sedikit pula, kajian yang menunjukkan pendidikan terhadap tingkat penghasilan seseorang tidak diragukan berdampak positif dan berpengaruh besar dibandingkan dengan komponen lain. Satu proyek yang jarang dilakukan untuk mengukur hasil program keaksaraan dewasa telah didanai Bank Dunia di tiga negara. Program keaksaraan fungsional di Ghana tahun 1999 menemukan besaran manfaat 43 % bagi wanita, 24% dirasakan laki-laki, manfaat sosial masing-masing mencapai 18% dan 14%; keuntungan diukur dari pencaharian yang berbeda. Sedangkan progam serupa di Indonesia, memberi keuntungan sekitar 25% dibandingkan pendidikan dasar di sekolah 22%, kasusnya diukur berdasarkan tingkat pendapatan perorangan dibandingkan dengan ongkos pendidikan yang dikeluarkan. Program di Bangladesh menyebutkan rata-rata keuntungan mencapai 37%. Meski demikian, perkiraan semua ini memerlukan konfirmasi lanjutan, pertama, investasi selamanya bersifat produktif, kedua, materi apa yang diperoleh msayarakat tidak mampu dari program keaksaraan yang membantu mereka memperoleh penghasilan dan beranjak dari kemiskinan. Kajian lebih dalam dimunculkan dari kajian mengenai dampak kesertaan program keaksaraan dewasa terhadap pengeluaran rumah tangga di Ghana. Tidak ada perbedaan bagi keluarga yang salah seorang anggotanya ikut kegiatan keaksaraan maupun pendidikan formal. Justeru, keluarga yang tidak satu pun berpendidikan formal, perbedaan sangat dirasakan mencolok: mereka yang memiliki anggota keluarga mengikuti program keaksaraan membelanjakan 57% dibanding mereka yang tidak memiliki anggota sebgai peserta program, dengan memperhatikan semua variabel yang berkaitan (IBRD,2000).
Di Ghana secara umum, hanya keluarga yang berpendidikan yang memerlukan peningkatan pendapatan (UNESCO,2006) Bukti yang ditemukan lebih lanjut memperlihatkan, bahwa manfaat pengeluaran program keaksaraan dewasa umumnya dapat dibandingkan satu sama lain, termasuk diantaranya dengan pengeluaran dalam pendidikan dasar. Dalam kenyataan sehari-hari, ‘opportunity cost’ seorang anak belajar di sekolah lebih rendah dibandingkan dengan seorang dewasa mengikuti program keaksaraan. Yang pasti, keuntungan belajar keaksaraan akan sangat dirasakan oleh orang dewasa yang masih dan terus bekerja.

G. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai bakal People Center
Penyelenggaraan education center memerlukan prasayarat pokok berupa ketetapan hati segenap stake holder baik pemerintah, maupun masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan dalam melaksanakan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan tidak sekedar menuntut kemampuan masayarakat ikut serta selama proses pembangunan, melainkan juga turut mengambil sikap dalam mencegah dan memperbaiki ekses pembangunan seperti kerusakan lingkungan, kerawanan sosial akibat perubahan dan lain lain.
Penempatan masyarakat sebagai pelaku pembangunan harus disertai dengan unjuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mumpuni dalam merencanakan, melaksanakan dan melanggengkan proses dan hasil pembangunan. Begitu pula, penyediaan akses ‘education center’ harus memperhatikan parameter yang ditunjukkan oleh penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tepat.
Keaksaraan berdimensi lingkungan sebagai ‘software’ pada ‘education center’ merupakan bagian dari hak seseorang dan memberikan banyak manfaat, baik diperoleh melalui sekolah atau program keaksaraan dewasa sejenis. Pendidikan orang dewasa menciptakan beragam keuntungan, terutama dalam membangun kepercayaan dan pemberdayaan diri setelah seseorang tidak lagi sekolah. Ternyata, hal yang menggembirakan bahwa penyelenggaraan pendidikan orang dewasa saat ini lebih efektif dibanding penyelenggaraan pendidikan sekolah formal. Pertanyaan penting selanjutnya adalah mengapa anggaran pengeluaran pendidikan orang dewasa selalu mendapat porsi yang kurang semestinya.
Permasalahan lingkungan yang bersumber dari kesadaran dan pemahaman masyarakat tidak hanya merupakan porsi perhatian pendidikan sekolah sebagai wakil dari jalur pendidikan formal.
Bahkan ternyata, pendidikan non formal pun berdampak besar bagi peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan. Melalui pendidikan non formal inilah, keaksaraan dapat memuat masalah lingkungan sebagai bahan ajar, selain masalah sosial, ekonomi dan politik. Bahkan melalui pendekatan keaksaraan lanjutan yang dikemas dalam wadah ‘people center’, dapat diperoleh berbagai manfaat termasuk dalam masalah lingkungan.
Praktek dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dapat menjadi bahan belajar keaksaraan seperti penanganan sampah rumah tangga, pelestarian lingkungan dan tentu saja upaya mencegah kerusakan lingkungan. Melalui bahan belajar berbasis lingkungan ini, masyarakat dapat diajak memahami potensi dan peluang pemecahan masalah yang dpat dilakukan sendiri. Memang tidak mudah mengatasi masalah lingkungan, tapi memang harus dilakukan melalui jalan panjang dengan membangun kesadaran baru. Unutk itu peran dan fungsi people center dapat menjadi jembatan penghubung semua pihak yang berkepentingan dengan lingkungan.
Inisiasi awal berujud Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) selanjutnya dapat ditransformasikan menuju ‘people center’ dengan ujud Pusat Kegiatan berbasis Masyarakat (PKbM). Sebagai PKbM, muatan energi semakin kaya untuk memicu daya ungkit kapasitas dan modal sosial masyarakat.
Maka dalam hal memicu daya ungkit inilah pendidikan secara integral menempatkan diri dalam pembangunan secara nyata.
Bacaan Lebih Lanjut:
Ewald Jr., William R. (Ed.) (1968) Environment and Policy, The Next Fifty Years. Blomington and London: Indiana University Press.
Faming, Liang et.al. (Translator). (2004). Modernization in China: The Effects on Its People and Economic Development. Foreign Language Press: Beijing.
Kaufman, Roger A. (1972). Educational System Planning. 7th Printing. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. (2007). Menko Kesra Resmikan Rumah Srikandi RW Siaga Mandiri. ONLINE. Tersedia pada: http://www.menkokesra.go.id/content/view/6154/39/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2007.
Moegiadi (1992) Dilema Antara Perluasan Kesempatan Belajar dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis XXXVIII IKIP Bandung. Tanggal 20 Oktober 1992. Bandung: IKIP Bandung. Tidak Diterbitkan.
Nelson, Jack L. et.al. (2000). Critical Issues in Education. McGraw-Hill: Boston et.al.
Office of The Non-Formal Education Commission. (2006). Non Formal Education Roadmap. Office of the Permanent Secretary Ministry of Education of Kingdom of Thailand.
Organization for economic Co-Operation and Development. (2002). Education Policy Analysis. OECD
Reid, David (1995). Sustainable Development. Earthscan: London.
Shane, Harold G. (1984) Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, diterjemahkan oleh M. Ansyar. Jakarta: Pustekkom Dikbud dan Rajawali.
Tempo Interaktif (2007). Menteri Aburizal Resmikan Rumah Srikandi. ONLINE. Tersedia pada: http://www.tempointeraktif.com/hg/ jakarta/2007/11/15/brk,20071115-111659,id.html. Diakses pada tanggal 11 Desember 2007.
The International Bank for Reconstruction and Development and World Bank (2000) Local Dynamics in an Era of Globalization. New York: Oxford.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan A.R. Mustopadidjaja. (1984) Teori dan Strategi Pembangunan Nasional. Cetakan keempat. Jakarta: Gunung Agung.
UNESCO. (1999). Manual for the Implementation of Community Learning Center. Bangkok: UNESCO.
UNESCO Institute For Statistic. (2002). Financing Education – Investment and Returns. Organization for economic Co-Operation and Development.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. (2005) Literacy for Life: EFA Monitoring Report 2006. Paris: UNESCO Publishing.
--------------- (2006) EFA Mid-Decade Assessment: Meeting Report 7th Annual EFA Coordinators Meeting/ EFA Mid-Decade Assessment Planning Meeting. Bangkok: UNESCO

Sunday, October 26, 2008

Desa PNF dalam Konteks Pembangunan

Penyelenggaraan pembangunan di berbagai daerah diakui merupakan langkah dalam menjembatani antara keadaan kini dan keadaan yang diharapkan oleh suatu masyarakat. Tidak terkecuali, setiap orang yang tinggal di wilayah Kabupaten Sukabumi, tempat model Desa PNF dikembangkan.
Pernyataan keadaan yang diharapkan tidak hanya sekedar dicantumkan dalam kebijakan Renstra, apalagi jika kebijakan itu sendiri belum menjadi pemahaman secara luas masyarakat. Bahkan kerap kebijakan itu belum mendapat legalitas, dikarenakan keengganan beberapa pihak. Kalau saja telah diakui legal, selanjutnya sampai tahap mana masyarakat meng-’internal’-kan kebijakan Renstra. Mulai dari masalah sosialisasi hingga keterbatasan sarana komunikasi dapat menyebabkan tidak semua masyarakat memahami Renstra. Dengan mengabaikan tingkat pemahaman masyarakat mengenai rencana strategis ini, tinjauan ini akan dilanjutkan.
Kerangka berpikir berikut lebih mudah dipahami mengunakan diagram causal loops konteks pembangunan lokal di wilayah Kabupaten Sukabumi. Sekalipun khusus merujuk pada kenyataan pembangunan di desa sasaran.

Lingkar 1 Pembangunan Desa Model / Sasaran
Beranjak dari keadaan kini sebagai pijakan dengan berorientasi pada harapan di masa datang. Masyarakat sasaran model memiliki kesadaran nyata atas kebutuhan pendidikan di masyarakat. Pemenuhan kebutuhan ini pada gilirannya bakal meningkatkan keadaan kini.
Pada lingkar satu ini, maka perlu dikaji lebih dalam keadaan masyarakat sekarang yang menjadi titik pijak sekaligus menjadi ‘causa prima’ upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan antara lain melalui pengembangan Desa PNF (Lingkar 3).

Lingkar 2 Pembangunan Wilayah
Bersinggungan dan bersesuai arah dengan harapan masyarakat, kebutuhan pembangunan dalam waktu yang sama, juga turut menyemai kebutuhan pendidikan di dalam masyarakat. Kebutuhan pembangunan dengan bidang pendidikan sebagai turunan, seperti lingkat satu juga memberi dampak pada peningkatan keadaan masyarakat di saat ini.
Jika lingkar satu dipahami dalam konteks masyarakat sasaran tempat Desa PNF dikembangkan. Maka pada lingkar dua, konteks pembangunan di luar wilayah desa sasaran, termasuk kabupaten, propinsi termasuk nasional harus mendapat pertimbangan. Karena, pembangunan di luar wilayah desa sasaran akan memberi pengaruh pada pelaksanaan pengembangan Desa PNF.

Lingkar 3 Pengembangan Desa PNF
Anggapan sementara bahwa Desa PNF dapat menjadi upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan selain harus lebih tegas juga memerlukan pemilahan terhadap karakteristik kebutuhan pendidikan di masyarakat yang menjadi ‘sasaran tembak’.
Dengan memegang anggapan seperti di atas, maka Desa PNF dapat diharapkan sumbangannya terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pendidikan itu sendiri di masyarakat merupakan akumulasi pembangunan desa (lingkar 1) dan pembangunan wilayah (lingkar 2), termasuk berbagai kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di dalam tataran Desa PNF. Kebijakan pemerintah itu sendiri tentu berasal dari pengalaman dan kajian atas kebijakan sejenis sebelumnya.

Lingkar 4 Pengembangan Kebijakan Desa PNF
Dengan mengecualikan keberadaan kebijakan khusus, dapat dianggap bahwa setiap kebijakan yang mengarah pada Desa PNF, sudah dapat dikatakan mewakili keberadaan kebijakan yang sesuai. Kebijakan seperti ini dapat dipelajari melalui berbagai arsip dan dokumentasi kebijakan pemerintah dan lembaga terkait, bahkan termasuk keberadaan lembaga swadaya masyarakat.

Lingkar 5 Penetapan Kebijakan Desa PNF
Keadaan kini yang hendak ditransformasikan terhadap sejumlah upaya pemenuhan kebutuhan, di lain pihak menjadi pemicu terhadap peningkatan kebutuhan pendidikan di masyarakat. Baik itu sebagai hasil dari pemahaman terhadap kesenjangan keadaan yang sedang terjadi, maupun dari pengalaman pengembangan desa PNF yang dianggap sudah ada sebelumnya.

Lingkar 6 Dukungan LSM
Pada gilirannya, keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat juga memberikan sumbangan berarti terhadap peningkatan kebutuhan pendidikan. Pengertian LSM itu sendiri tidak sesempit organisasi yang ‘anti’ pemerintah, namun lebih diartikan setiap lembaga yang mewadahi kegiatan dan aspirasi masyarakat.
Dengan memperhatikan diagram Causal Loops Desa PNF di bagian awal, dapat dipahami bahwa kebutuhan pendidikan di desa sasaran model harus menjadi perhatian sejak dalam tahap penjajagan.

Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan pendidikan sebagai turunan dari kebutuhan pembangunan dalam masyarakat harus pula menjadi perhatian utama dalam pengembangan Desa PNF. Dengan penyebutan Desa PNF, sementara pihak dapat saja mempertanyakan seperti apa konstruksi Desa Pendidikan Formal? Pertanyaan ini menggelitik, setelah ingin diketahui mengapa harus ada Desa PNF. Namun jawaban pertanyaan ini kita simpan sementara.
Seandainya hendak didudukan dalam dua lingkar yang bergerak pada porosnya (gambar 1), antara kebijakan inisiator (pemerintah baik pusat maupun daerah) dengan keadan akseptor (masyarakat) akan memperlihatkan kesenjangan dalam pengembangan Desa PNF. Kebijakan seperti Desa PNF dapat diartikan sebagai kondisi ideal yang harus disikapi melalui upaya mentranformasikan keadaan di masa sekarang.
Persoalan yang digambarkan di atas tidak mudah dengan sekedar meniadakan ruang kebutuhan baik pendidikan maupun pembangunan. Hal ini bisa dicapai dengan mendekatkan jarak antara keadaan ideal dan keadaan sekarang (gambar 2a). Keadaan ideal Desa PNF itu sendiri dirujuk berdasarkan kebijakan Desa PNF yang ada. Dengan sejumlah intervensi tindakan, dapat kemudian diciptakan keadaan dimana Desa PNF berhasil dicapai menjadi sama dengan keadaan sekarang. Sejumlah pra-kondisi tentu saja harus dipenuhi agar dua keadaan yang di awal sangat berseberangan menjadi saling berhimpit (Gambar 2b).
Namun demikian, menggerakkan kebijakan pemerintah termasuk pengembangan model Desa PNF tidak dapat mengabaikan setiap keadaan masyarakat yang dibentuk oleh tuntutan kebutuhan pembangunan maupun pendidikan itu sendiri. Bahkan dalam menyikapi kebutuhan ini, baik pemerintah maupun masyarakat berada dalam peran sejajar, sehingga memungkinkan terjadi tarik ulur. Tarik ulur ini menyebabkan pula ‘trade off’ berupa pengorbanan untuk sesuatu yang diinginkan.
Sebagai contoh, agar masyarakat mencapai tujuan Desa PNF, maka pemerintah harus menawarkan insentif sebagai kompensasi pengalihan tindakan pemenuhan kebutuhan. Pengalihan tindakan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat seperti ini tidak dapat ditempuh dengan tindakan sentralistik seperti memanfaatkan jenjang birokrasi. Koordinasi yang paling memungkinkan adalah dengan mengedepankan mekanisme sistem pasar.
Pemerintah sebagai pengembang model sudah pada tempatnya menempatkan diri sebagai ‘penjual jasa’ yang menawarkan pilihan pemenuhan kebutuhan. Dalam konteks Desa PNF, kebutuhan yang harus dipenuhi adalah setiap kebutuhan masyarakat desa di bidang pendidikan maupun pembangunan wilayah yang berdimensi pendidikan. Sehingga perlu dikaji ulang oleh pengembang model untuk memainkan peran ‘memaksakan diri’ dengan alasan waktu pelaporan keuangan dan segudang alasan lain. Berbeda dengan peran ‘fasilitatif’, jelas pengembang model Desa PNF harus mengerti keinginan awal masyarakat dan gejolak kebutuhan yang muncul di kemudian hari. Pengembang model oleh karena itu harus memiliki keleluasaan dan kedalaman dalam interaksi dengan masyarakat sebagai sasaran model.
Untuk mengakomodasi gejolak kebutuhan masyarakat selama pengembangan model Desa PNF dijalankan, setiap pengelola harus sudah memiliki kemampuan dan kesanggupan mengendalikan setiap rentang posisi masyarakat dalam merespon ‘tawanan’ model. Dalam kaitan ini, seorang pengembang harus memiliki banyak pilihan strategi dan tindakan dalam melakukan intervensi terhadap pernyimpangan bagi perujudan model Desa PNF. Untuk menghindari ini, selama penjajagan awal berbagai komponen yang cenderung merubah arah model, sudah harus disikapi. Tanggung jawab ini tidak dapat dibebankan pada seorang koordinator pengelola, terlebih dalam perjalanan penyesuaian perlu diambil.

Pemeran Kunci
Bila perbandingan dapat dilakukan terhadap pekerjaan pengembangan model sebagaimana dicontohkan pekerjaan menyusun model kawasan hunian seperti yang dilakukan Dinas Tata Ruang. Selain perlu kegiatan pendahuluan berdasarkan kajian Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), hasil kajian lebih lanjut menjadi dasar penyusunan model Rancangan Detail Tata Ruang (RDTR). Seandainya analogi ini bisa digunakan sama, maka dapat dimunculkan pemeran kunci yang harus memiliki andil dalam pengembangan model.
Dengan melihat diagram 1, maka pengembangan Desa PNF dihadapkan pada pemangku kebijakan yang mengendalikan perencanaan pembangunan dan perencanaan pendidikan. Komponen yang turut menentukan kedua bidang ini adalah BAPPEDA, Dinas Tata Ruang dan Pemukiman pada lapis pertama, lapis kedua adalah Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tenaga Kerja serta semua kantor yang memiliki sumbangan dalam menciptakan kebutuhan pendidikan dalam lingkup masyarakat pedesaan. Di lain pihak, sebagai ‘capital society’ sejumlah pengurus LSM pun harus ditempatkan pada posisi yang turut menyemai kebutuhan pendidikan di masyarakat.

Kesimpulan
Spektrum model Desa PNF, tidak akan sama jika diandaikan model Desa Pendidikan Formal harus ada. Oleh karena itu, bukan hanya persoalan kemauan dan kesanggupan pengembang model dalam mewujudkan Desa PNF. Kedangkalan saat pemetaan awal ‘interkoneksi’ keberadaan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan pembangunan yang memicu Desa PNF. Justeru hal ini menyumbang besar terhadap besaran dan muatan Desa PNF.
Dengan kata lain, diperlukan bukti pendahuluan yang mengantarkan sebuah gagasan seperti Desa PNF harus dijadikan pilihan model. Sebagai sebuah model realitas yang ingin diujudkan, maka perlu pula dikembangkan pada tahap kajian pendahuluan melalui data dan bukti empiris ‘model thinking’ keberadaan Desa PNF. Dengan demikian beberapa kesimpulan sebagai hasil tinjauan awal atas Pengembangan Model Desa PNF adalah:
1. Struktur ‘interkoneksi’ di antara komponen model Desa PNF memiliki kedalaman dan keluasan seperti dimensi kebutuhan pembangunan dan pendidikan suatu kawasan.
2. Penyederhanaan komponen model Desa PNF secara langsung mengabaikan mekanisme sistem pasar yang memungkinkan pola ‘trade-off’ di antara pemerintah dan masyarakat.
3. Penyederhanaan komponen model Desa PNF di lain pihak telah menyebabkan sejumlah pemeran kunci yang memberikan sumbangan dianggap tidak memiliki ‘interkorelasi’.

Wednesday, October 15, 2008

Leadership as Life Skill Education Content

Kepemimpinan Diri suatu Proses Refleksi

Memperhatikan ranah kecakapan yang dikelompokkan dalam sasaran Pendidikan Kecakapan Hidup - terutama pada kecakapan pribadi - kepemimpinan diri belum merupakan kecakapan pokok.

Kecakapan pribadi yang dimaksud hanya menekankan pada kecakapan mengenal diri, berpikir rasional dan percaya diri.

Begitu pula dalam kecakapan sosial, kepemimpinan diri belum dipandang sejajar dengan kecakapan komunikasi dan kerjasama.

Padahal apabila hendak dikaji lebih seksama, fungsi kepemimpinan diri merupakan fungsi yang dapat diproyeksikan dari gabungan himpunan kecakapan mengenal diri, berpikir rasional dan percaya diri maupun himpunan kecakapan sosial seperti komunikasi dan bekerja sama.

Mengingat maksud penulisan buku ini adalah menyampaikan usulan pembaruan terhadap pemahaman tenaga kependidikan PNF dalam Kecakapan Pendidikan Kecakapan Hidup. Maka kajian latar belakang kepemimpinan sebagaimana yang dikenal dalam berbagai wacana manajemen tidak menjadi porsi terbesar materi yang disajikan. Hal ini mengingat sandaran kajian kepemimpinan dalam manajemen telah banyak diketahui dan diungkap berbagai bahan bacaan umum. Dengan demikian, paparan dalam buku ini lebih menyoroti dua kecakapan pokok yang dianggap mendasari kepemimpinan diri, yakni kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.

Keterkaitan kecakapan pribadi dan kecakapan sosial memiliki kedekatan dibanding dua kecakapan lain; kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Pemahaman ini mengedepankan kecakapan pribadi dan sosial sebagai aktualisasi faktor internal seseorang. Sementara kecakapan akademik dan vokasional dipandang sebagai eksternalisasi faktor internal seseorang yang dibawa sejak lahir.

Kedudukan Penting Kepemimpinan diri dalam Pendidikan Kecakapan Hidup

Pencanangan program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) sebagai alur pokok Program Pendidikan Non Formal (PNF) sementara ini kental dengan muatan vokasional. Sejak awal, pencetus PKH maupun pegiat PNF di berbagai jenjang banyak memprioritaskan pada implementasi kegiatan pendidikan vokasional yang sarat dengan program keterampilan untuk mampu bekerja. Tindakan latah ini pun kerap oleh pegiat PNF diikuti dengan berbagai upaya pembenaran agar pendidikan vokasional tersebut mampu memberikan manfaat keuangan bagi warga belajar PKH. Padahal kemampuan produksi seseorang – termasuk warga belajar PKH, merupakan simpul dari sejumlah ikatan kecakapan seorang entrepreneur.

Menurut Hermawan Kartajaya, entrepreneur merupakan proses untuk menangkap dan mewujudkan suatu peluang terlepas dari sumber daya yang ada, serta membutuhkan keberanian untuk mengambil resiko yang telah diperhitungkan.

Sehingga menjadi kurang tepat, manakala memahami PKH sebatas pada pendidikan vokasional saja, kemudian warga belajar PNF dihadapkan pada tantangan untuk menghidupi diri mereka sendiri di tengah belantara dunia usaha. Secara ideal, pemahaman PKH harus dirunut sebagai penguasaan berbagai kecakapan hidup dan turunannya. Namun itu pun belum cukup memadai, mengingat kepemimpinan diri tidak disajikan melengkapi kecakapan hidup untuk berani meng­hadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mampu mencari serta menemukan solusi.

Hingga di sini, terdapat kesan PKH oleh pegiat PNF terlalu disederhanakan sebagai pendidikan vokasional. Imbas dari pemahaman yang kurang padan ini, jelas dapat dilihat dari setiap upaya pelaksanaan PKH, seperti kurikulum dan materi bahan yang sarat dengan pendidikan kecakapan kerja. Padahal bila hendak disadari, kecakapan kerja itu sendiri merupakan akumulasi dari sejumlah keterampilan awal seperti kecakapan pribadi, sosial dan juga akademik. Penguasaan seperangkat kecakapan awal tadi, selanjutnya diserap dalam ‘kuasa atas diri sendiri sebelum ditampilkan dalam dimensi akhir kecakapan kerja.

Penyerapan sejumlah kecakapan awal dan menyalurkannya dalam kecakapan kerja, merupakan hakekat kepemimpinan diri. Makna kepemimpinan itu sendiri adalah kemampuan memperoleh konsensus dan keikatan pada sasaran, melampuai syarat-syarat yang dicapai dengan pengalaman.

Sejenak, kita perhatikan kutipan pengalaman seorang pengusaha nasional (kotak 1) bagaimana memulai usaha sebagai entrepreneur.

Contoh sekuel awal perjalanan hidup seorang pengusaha asal Saumlaki, Kepulauan Tanimbar yang terletak di Laut Banda sengaja dikutipkan dengan dua alasan. Pertama, menegaskan kembali bahwa PKH yang berorientasi pada menciptakan entrepreneur tidak hanya bergantung semata pada kecakapan vokasional yang mengutamakan pada kecakapan kerja. Kedua, kecakapan entrepreneur merupakan imbas utama dari kecakapan pribadi yang terus bergulir didukung kecakapan sosial.

Adalah wajar, jika keberhasilan PKH dalam menyemai kecakapan kerja kemudian tidak diikuti keberhasilan warga belajar berusaha mandiri, karena pondasi kecakapan pribadi dan kecakapan sosial tidak memperoleh perhatian cukup.

Pendidikan PKH dalam kecakapan kerja bagi warga belajar yang memiliki bekal kecakapan pribadi dan sosial yang mumpuni, memberikan peluang tambahan dalam menciptakan usaha baru. Sementara bagi warga belajar yang belum memiliki bekal kecakapan pribadi dan sosial yang dibutuhkan, maka menjadi kewajiban fasilitator PKH untuk mengembangkan dan membangkitkannya.

Apa yang dituturkan oleh Yulius Tahija, memang tidak menyebutkan kecakapan yang menjadikan dia pengusaha sebagai hasil PKH. Namun demikian, melalui pengalaman beliau dapat ditelusuri seperangkat kecakapan yang kemudian kita kenal dalam empat ranah PKH.

Bagi penulis sendiri, empat ranah tersebut harus menjadi ‘perangkat’ bagi seorang warga belajar PKH dan memanfaatkan perangkat kecakapan tersebut melalui kepemimpinan diri. Yulius Tahija menunjukkannya dengan berjalan kaki sebelum naik angkutan umum. Padahal dia sendiri dapat memilih naik angkutan umum langsung dan menghabiskan seluruh bekal sekolah.

Keputusan Yulius Tahija berjalan kaki, mungkin saja mendapat ‘cemooh’ dari teman sekolah atau orang lain yang melihat dia, terlebih dia berasal dari keluarga berkecukupan. Disinilah letak kepemimpinan diri yang ingin saya pahami dalam PKH.

Akan menjadi sia-sia, jika PKH yang diselenggarakan dan mampu menghantarkan hasil memuaskan untuk hidup mandiri, ternyata tidak diimbangi dengan kepemimpinan diri warga belajar. Apalagi hidup mandiri akan menemukan beberapa pandangan yang menghambat saya berkembang untuk menjadi seorang entrepreneur. Sehingga kepemimpinan diri akan memberikan kemampuan tambahan untuk melampaui hambatan dalam perkembangan hidup seorang warga belajar berkenaan dengan the societal aspect of decision making (aspek sosial pengambilan keputusan). Terlebih bila kelak warga belajar menjadi seorang entrepreneur. Termasuk memilah pilihan akibat keadaan yang digambarkan Harold G. Shane sebagai future shock (kejutan masa depan) yang dihasilkan ciptaan teknologi.

Sejak sepuluh tahun terakhir, saat orde baru berakhir dan hantaman krisis multidimensi membuat segenap aspek kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia terkapar dengan puluhan juta korban ekonomi, kini memerlukan puluhan juta wirausahawan (entrepreneur, pen.) baru. Sejumlah harapan agar pendidikan mampu menjadi ‘tongkat obat krisis’ sampai sekarang belum dapat menciptakan mukjizat penyembuhnya. Apalagi dengan pemahaman PKH sebatas mendidik kecakapan kerja minus kepemimpinan diri.

Padahal dalam konteks kepemimpinan selalu mengandung anticipating the future yang berarti kemampuan mengantisipasi kemungkinan di masa datang, lebih dari sekedar memimpikan atau sekear meramalkan kejadian di masa depan. Bahkan juga mencakup discovering the mission, formulation the vision, dan taking masive action into the future. Kepemimpinan lebih lanjut mencakup menemukan misi hidup, menyusun visi pribadi dan mengembangkan tindakan bersama untuk mewujudkan harapan di masa yang akan datang.

Letak kepemimpinan dalam kecakapan yang disasar PKH dapat digambarkan dalam empat triangulasi Jansen H. Sinamo yang dinamakan tetra mahardika


Seorang warga belajar PKH yang menguasai kecakapan vokasi / kerja tertentu dapat dipahami telah mencapai tingkat inovasi dibanding kecakapan awal sebelum mengikuti PKH. Kecakapan baru yang sudah dimiliki harus tetap menjadi keunggulan sepanjang waktu dengan mengantisipasi keadaan di masa depan yang dihantarkan oleh kepemimpinan diri. Kecakapan inovasi yang diunggulkan tersebut, oleh seorang warga belajar harus mampu diujudkan dalam etos kerja. Etos kerja yang optimal diperankan seorang warga belajar PKH adalah yang memenuhi paradigma ACE: Align, Create dan Empower.

Etos kerja warga belajar PKH yang didukung empat kompetensi; pribadi, sosial, akademik dan vokasional harus melahirkan daya saing pribadi atas keunggulan kecakapan yang terus menerus dikembangkan secara kolaborasi dalam kelompok belajar, memupuk kecakapan baru dan saling membelajarkan kecakapan di antara sesama warga belajar.

Dalam kenyataan yang ditemukan pada program PKH, pihak penyelenggara justeru tidak menaruh hirau pada aspek strategis kepemimpinan diri warga belajar. Pengamatan di sejumlah tempat penyelenggaraan PKH, justeru menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Selain diakibatkan kecenderungan penyelenggara dan fasilitator hanya memahami PKH sebatas pengembangan kecakapan vokasional. Kepemimpinan diri warga belajar kerap luput dari materi ajar dan bahasan PKH dikarenakan:

1. Struktur Kurikulum belum tegas menyebut konsentrasi kepemimpinan diri dalam salah satu dari empat maupun keseluruhan kompetensi PKH.

2. Strategi pembelajaran yang kurang tepat, kegiatan warga belajar di kelas sebagian besar dikendalikan oleh pembalajaran praktek, demonstrasi dan penugasan untuk menemukan ‘try and error’ setelah fasilitator menjelaskan tahapan kegiatan di awal pertemuan.

3. Masukan umpan balik baik kegiatan PKH harian maupun keseluruhan tidak ada. Masukan yang berguna untuk menjamin keberhasilan PKH tidak dihimpun karena berbagai alasan. Penyelenggara dan fasilitator selain tidak memiliki kemampuan memadai baik teknik maupun strategi menghimpun umpan balik. Persoalan masukan setelah program PKH dilaksanakan tidak menjadi perhatian sendiri bahkan diukur sebagai paket keberhasilan institusi penyelenggara.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa kebermaknaan kepemimpinan diri yang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan PKH dan menjadi muatan utama yang dirangkum dalam empat kompetensi PKH, justeru tidak dihadirkan sebagaimana mestinya.

Secara mendasar, hal ini merupakan refleksi kepemimpinan diri penyelenggara maupun fasilitator PKH yang selama interaksi pembelajaran berlangsung lahir dalam ujud kepemimpinan warga belajar. Adalah wajar, penyelenggaraan PKH yang telah berlangsung dalam berbagai tahapan waktu dan tingkat penyelenggaraan belum mampu memberikan sumbangan nyata bidang pendidikan bagi keseluruhan aspek kehidupan masyarakat yang masih dalam bayang-bayang akibat krisis moneter. Mungkin karena faktor kepemimpinan diri ini dilupakan atau tidak dianggap penting. Padahal dalam lingkungan dunia usaha yang sangat dinamis, kepemimpinanlah yang merupakan kunci utama12). Oleh karena itu, patut disayangkan, kepemimpinan diri dalam PKH justeru diabaikan. Sebelum terlambat sama sekali, cukup andaikata sekarang ini dipikirkan bagaimana kepemimpinan diri dijadikan muatan integratif PKH.

Mengemas Pembelajaran Kepemimpinan diri dalam Pendidikan Kecakapan Hidup

Kecakapan hidup yang selama ini dikenal dalam dua sifat utama yaitu generic skill dan specific skill. Kecakapan generik terdiri dari kecakapan personal yang mencakup kesadaran / memahami diri, kecakapan berpikir, kecakapan komunikasi dan bekerjasama. Sementara kecakapan spesifik yang berorientasi untuk menghadapi pekerjaan mencakup kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.

Kepemimpinan diri sebagai kecakapan yang memiliki nuansa tersendiri memang tidak mendapat tempat pada pengelompokkan di atas. Semoga kekurangan ini hal tidak sengaja atas pemilahan yang dijadikan rujukan kompetensi PKH secara nasional.

Jika kepemimpinan diri erat melekat pada salah satu kompetensi, maka kecakapan diri merupakan rumah yang tepat. Namun demikian, kepemimpinan diri dapat mengambil bentuk dan merefleksikan dalam kecakapan lain seperti kecakapan sosial, akademik maupun kecakapan vokasional.

Namun sangat disayangkan, dalam berbagai kesempatan pelatihan bagi penyelenggaraan PKH, seperti juga Training of Trainer Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Tenaga Pendidik Pendidikan Non Formal di Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Regional II, kehadiran kecakapan kepemimpinan diri masih belum dirasakan penting. Kenyataan ini merupakan hasil dari belum ditemukannya format dan turunan kecakapan kepemimpinan diri. Meskipun untuk empat kecakapan hidup lain juga belum dapat disusun format dan turunan dalam bentuk kurikulum, strategi pembelajaran maupun penilaian lanjutan dalam kemasan PKH.

Alih-alih menunggu kesadaran bersama bagi kecakapan kepemimpinan diri muncul dan diterima sebagai bagian kecakapan personal. Selain memakan waktu lama dan belum pasti. Dalam bagian ini, penulis mencoba mengelaborasi bentuk kurikulum, strategi pembelajaran dan penilaian kecakapan kepemimpinan diri. Disertai harapan bagian ini mengilhami penyempurnaan muatan kepemimpinan diri dalam PKH.

1. Kurikulum Kepemimpinan diri

Seperti kecakapan personal dan sosial yang harus memberi cermin dan nuansa dalam pembelajaran PKH. Maka, fasilitator harus menandaskan bahwa situasi di sekolah, tempat penyelenggaraan PKH adalah berbeda dengan keadaan di masyarakat, tempat ujian kehandalan atas kecakapan hidup yang dikuasai.

Kurikulum kepemimpinan diri dengan sendirinya perlu memperhatikan ekologi pendidikan2). Di dalam kelas sendiri selama penyelenggaraan PKH, fasilitator dapat memainkan sejumlah skenario pembelajaran untuk mengenal dan memperkenalkan ‘lesson learning’ persoalan nyata yang memiliki imbas terhadap kepemimpinan diri. Tentu saja, skenario ini tidak dapat dipisahkan dari pilihan strategi pembelajaran di dalam kelas.

2. Strategi Pembelajaran Kepemimpinan diri

Jika struktur kurikulum yang disepakati bersama antara fasilitator (termasuk penyelenggara) dan warga belajar PKH. Maka strategi pembelajaran kepemimpinan diri dapat dikembangkan dalam dua kategori berdasarkan proses pembelajaran dilangsungkan.

a. on class, pilihan strategi pembelajaran dapat dilaksanakan menurut skenario lingkungan belajar yang mensyaratkan keterlibatan warga belajar baik sebagai pemimpin maupun yang dipimpin. Pelaksanaan strategi ini tepat digunakan saat warga belajar berinteraksi langsung dengan fasilitator di dalam kelas.

Sebagai interaksi antara warga belajar dan fasilitator yang menhantarkan pembelajaran, keterlebitan unsur dinamis dalam belajar mutlak dijadikan bahan pertimbangan dalam pembelajaran kepemimpinan diri ini. Unsur dinamis ini oleh Ali Imron3) disusun sebagai berikut:

1) motivasi warga belajar,

2) bahan belajar dan upaya penyediaannya,

3) alat bantu belajar dan upaya penyediaannya,

4) suasana belajar dan upaya pengembangannya,

5) kondisi warga belajar dan upaya penyiapan dan peneguhannya.

Kelima unsur dinamis ini bagi fasilitator PKH yang menjadi bagian Pendidik PNF merupakan keadaan yang sama sekali berbeda dibanding para tenaga pendidik formal.

Motivasi warga belajar PKH yang kuat saat awal diterima – tidak jarang - akan serta merta berubah sejalan dengan suasana belajar yang tidak sesuai dugaan mereka atau bahkan dirasakan membebani. Berbeda dengan motivasi murid peserta PKH di sekolah. Tanggung jawab fasilitator PKH menggawangi motivasi ini beberapa kali harus dihadapkan pada keadaan yang melatarbelakangi akibat rentang usia dan tanggung jawab keluarga di antara warga belajar berpaut jauh.

Bahan belajar tersedia yang tidak praktis dan susah dipahami oleh mereka yang mulai belajar kembali pun menyebabkan motivasi belajar menurun. Apalagi, bila pembelajaran kepemimpinan diri membutuhkan bahan belajar yang harus diadakan sendiri dan mengurangi jatah uang belanja harian. Ketersediaan bahan belajar yang memerlukan pemasangan yang rumit dan memakan waktu, juga memiliki potensi mengurangi motivasi belajar kepemimpinan diri. Keadaan yang sama dapat berlaku untuk alat bantu lain.

Suasana belajar yang mewakili situasi seperti di sekolah formal, membutuhkan kecerdikan fasilitator kepemimpinan diri. Kecerdikan ini sering kali pula harus menyebabkan bentuk pengorbanan lain seperti tenaga dan stamina menghadapi warga yang cepat terkuras. Apalagi tempat pertemuan antara warga belajar dan fasilitator berada di ruang terbuka, suara dan mobilitas fasilitator selama pembelajaran PKH tidak menyerupai pembelajaran di kelas yang biasa ditemukan di sekolah formal.

Kondisi warga belajar yang memerlukan upaya tambahan dalam penyiapan pembelajaran (pra kondisi) kerap tidak hanya cukup dengan memancing perhatian seperti berlaku dengan murid di sekolah biasa.

Jika fasilitator berkemampuan super, lalu dapat mengatasi tantangan strategi pembelajaran di atas, bukan berarti pembelajaran kepemimpinan diri dalam PKH dikatakan berhasil. Karena, strategi pembelajaran yang membuat warga belajar berhasil on class, belum menggambarkan pencapaian off class. Keberhasilan strategi pembelajaran berdasarkan the classroom conception4) seperti ini dikatakan Beeby belum cukup memadai.

b. off class, strategi pembelajaran di luar kelas tidak lagi mengandalkan kendali fasilitator. Warga belajar akan menunjukkan rentang dari unjuk kepemimpinan diri secara alami. Fasilitator dapat berperan mengarahkan dan memperkenalkan praktek kepemimpinan yang diharapkan dapat memperkaya rujukan warga belajar dalam mengaktualkan kepemimpinan diri.

Strategi pembelajaran sebagai pendekatan bersifat aksiomatik maka metode bersifat prosedural. Dengan demikian, strategi pembelajaran kepemimpinan diri dalam PKH memungkinkan terdapat banyak metode6).

Permasalahan strategi pembelajaran kepemimpinan diri dalam PKH tidak mungkin lebih sederhana dari strategi konvensional yang mencakup saja komponen masukan, proses dan produk atau variabel tujuan pengajaran, materi pelajaran, metode dan teknik mengajar, siswa, guru dan logistik7).

Pembelajaran Kepemimpinan diri dalam PKH tidak dapat mengandalkan gagasan Romiszowski pada strategi advocate active learner participation in the lesson. Jika tentu saja mengabaikan dua belas pokok perhatian strategi belajar.

3. Penilaian berkelanjutan Kepemimpinan diri

Penilaian berkelanjutan kepemimpinan diri penyelenggaraan PKH sejalan dengan pengembangan kecakapan hidup lebih diarahkan pada off-evaluation. Bentuk penilaian ini, berbeda dari pre-evaluation maupun post-evaluation. Dua penilaian terakhir yang disebut berlangsung dalam rentang masa penyelenggaraan PKH. Sedangkan penilaian berkelanjutan mensyaratkan pendampingan dan pembinaan kepemimpinan diri berdasarkan temuan dari hasil off-evaluation.

Seandainya melihat pada sebelas jenis belajar dan faktor yang mempengaruhinya10) dan warga belajar PKH menampilkan salah satu dari sekian jenis belajar untuk mengembangkan kepemimpinan diri, maka fasilitator akan dihadapkan pada bagaimana tempat, waktu dan kriteria penilaian yang memadai untuk ditetapkan. Sedangkan spektrum kepemimpinan diri warga belajar itu sendiri mencakup kenyataan dalam rentang aktualisasi tindakan on class hingga off class. Ditambah pula dua puluh ciri kepemimpinan11), tidak mudah untuk dipetakan bilamana, dan dimana akan ditunjukkan warga belajar secara natural - tanpa skenario khusus – sebagai input penilaian kepemimpinan diri.

Dengan mengandaikan tiga komponen pembelajaran kepemimpinan diri lengkap ditemukan dalam pelaksanaan PKH. Penyelenggara maupun fasilitator akan memiliki tantangan besar yang tidak mudah untuk dilampaui. Jika batu sandungan besar ini dapat diatasi, maka besar kemungkinan dapat menciptakan collaborative problem solving bagi pembelajaran kepemimpinan diri dalam penyelenggaraan PKH di kemudian hari. Tentu saja ini, jika hendak sepuluh prinsip mengajar yang optimal hendak diujudkan dalam setiap pembelajaran kepemimpinan diri.

Keterkaitan Pendidikan Kecakapan Hidup dalam mengembangkan Kewirausahaan

Sudah sejak lama para pegiat pendidikan di awal kiprah mereka sadar bahwa pengajaran dan pendidikan yang dilakukan tidak hanya sekedar penguasaan bahan di kelas. Lebih dari itu, setiap warga belajar harus mampu hidup dan bekerja mandiri sebagai entrepreneur. Adapun kemudian tingkat entrepreneurship mereka berbeda-beda, hal ini berbanding lurus dengan rentang minat dan kebutuhan warga belajar itu sendiri.

R.A. Kartini, pejuang emansipasi wanita bahkan mengharuskan kaum wanita mendapat pengajaran vak (kecakapan hidup, pen.) agar mampu bekerja di luar rumah tangga dan jangan sampai wanita menjadi korban kawin paksa dan budak kaum pria. Sesuai dengan konteks perkembangan budaya dan tuntutan sosial yang berlaku sekarang, pendidikan kecakapan hidup untuk wanita dan ibu rumah tangga menjadi kunci utama dalam program peningkatan pendapatan keluarga (income generating). Langkah Kartini di Rembang, Jawa Tengah ini pun diikuti oleh Dewi Sartika di tanah Pasundan, Jawa Barat dan oleh Rohana Kuddus – kakak perempuan Sutan Syahrir di Kota Gedang, Sumatra Barat.

Pendidikan kecakapan hidup yang menyemai kecakapan entrepreneur pun dijadikan bagian ajar sistem pendidikan taman siswa yang dinamakan taman tani, taman rini dan taman karti. Muhammadiyah dan Nahadlatul Ulama pun tidak turut melaksanakan kegiatan PKH, meski hanya menjadi bagian kurikulum formal. Kemudian tahun 1960, dikenal pendidikan karya, agar warga belajar dapat berdiri sendiri serat memberi kecakapan-kecakapan dan rasa tanggung jawab untuk menjadi pilot bagi masyarakat sekitar dan membangun daerahnya.

Bahkan yang sangat menarik adalah upaya Moh. Syafei yang mendirikan INS di Kayutaman, Sumatera Barat. Prinsip entrepreneur – berdiri sendiri – bahkan diterapkan dengan tidak mengharapkan bantuan dari luar yang mengikat. Segala perkakas sekolah semuanya hasil kerja dan buah tangan murid-muridnya sendiri. Moh. Syafei ingin membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang berani dan bertanggung jawab, berani berdiri sendiri, membuka perusahaan sendiri, hidup bebas dan tidak tergantung kepada orang lain.

Bagian penting dari sejarah yang dipaparkan sebelumnya mengingatkan kepada pegiat PKH, agar tetap menempatkan penyelenggaraan dan hasilnya dalam konteks kemandirian warga belajar. Bukan pada ukuran daya serap, maupun dokumentasi sesaat agar sebuah institusi dianggap telah melakukan PKH. Padahal kedudukan strategis PKH sesungguhnya dalam moving out of poverty karena a lack of adequate and appropriate knowledge, termasuk penguasaan empat kompetensi PKH sama sekali diabaikan.

Sebagai bentuk program pendidikan, PKH tentu harus memenuhi maksud pendidikan to develop to the fullest extent possible the inherent capacities of the individual, to fit the individual to function effectivelly in the world, to develop in individuals the capacity to form their own standards and make their own judgements. Dengan demikian pendidikan dimaksudkan mengembangkan sepenuhnya kemungkinan kecakapan seseorang warga belajar, menyelaraskan peran seorang warga belajar dalam masyarakat, mengembangkan kecakapan warga untuk menciptakan pemahaman dan penilaian pribadi.

Tentu saja, makna pendidikan yang dicakup juga oleh PKH tidak dapat dipisahkan dari persepsi atas sustainability. Persepsi keberlanjutan ini diturunkan secara mendasar dalam aspek: profitability, financial performance, capacity to make a living, ability to improve the natural improvement and make people’s live better in society as a whole. Di sini, kita menempatkan PKH dalam konteks menjadikan warga belajar memiliki nasib lebih baik, memiliki pekerjaan, memperoleh penghasilan sejalan dengan kemampuan memelihara lingkungan dan memberikan sumbangan positif bagi lingkungan sekitar. Bahkan konsep link & match yang menunjukkan interelasi dunia usaha dan industri (DUDI) dan dunia pendidikan merupakan twin strands of contemporary development yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Keduanya membentuk modal kerja yang menjadi landasan bagi kesejahteraan di kemudian hari.

Penyelenggaraan PKH yang menekankan pada kecakapan vokasional yang bersifat teknis dalam jangka pendek dapat memberi peluang kerja mandiri atau peluang kerja di usaha kecil, as the business develops, these skills may be inadequate11). Sejalan perkembangan usaha, kecakapan teknis yang sudah dikuasai saja tidak cukup. Upaya meningkatkan kecakapan vokasi diperlukan lebih lanjut. Sehingga PKH tidak berhenti di satu titik, ketika program yang diprakarsai pihak lain tidak ada lagi. Seorang warga belajar yang telah menyelesaikan satu tahapan PKH dapat terus meningkatkan kecakapan berdasarkan incremental approach. Dan pendekatan incremental seperti itu menjadi sikap wirausaha yang rasional dalam mengembangkan investasinya.

Perbedaan antara warga belajar PKH dengan wirausaha, terletak pada modal yang diinvestasikan untuk dikembangkan. Jika warga belajar PKH mengembangkan kecakapan awal yang pernah dikuasai, maka wirausaha mengembangkan modal usaha yang juga digunakan pada saat memulai usaha. Perbedaan lain terletak pada orientasi pengembangan, bila warga belajar PKH berorientasi pada penguasaan kecakapan baru. Pengembangan yang dilakukan Wirausaha berorientasi pada penguasaan pasar baru.

Sedangkan persamaan yang dijumpai antara warga belajar PKH dan wirausaha terletak pada upaya pengembangan yang merupakan proses rekapitulasi pada setiap individu. Dalam diri warga belajar PKH, proses rekapitulasi berlangsung dalam ujud penambahan kecakapan. Sementara dalam diri wirausaha, rekapitulasi berujung pada peningkatan jumlah modal yang diinvestasikan.

Kedekatan prinsip sebagai hasil penyelenggaraan PKH pada warga belajar dan model mental wirausaha terletak pada proses peningkatan dan pengembangan kecakapan diri sesuai prinsip self propelling growth yakni tumbuh atas kekuatannya sendiri. Keterkaitan penyelenggaraan PNF dalam PKH yang berbeda dari penyelenggaraan pendidikan formal dengan pengembangan wirausaha, diharapkan mampu menyemai sejumlah kecakapan pokok untuk memasuki dunia kerja baik wiraswasta maupun karyawan swasta.

Kecakapan pokok yang dimaksudkan Wuri Sudjatmiko untuk bekal memasuki dunia kerja adalah:

1. mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan, dan mengalokasikan sumber daya;

2. bekerja sama dengan orang lain;

3. memperoleh dan memanfaatkan informasi;

4. memahami hubungan timbal balik yang kompleks; dan

5. bekerja dengan berbagai teknologi.

Jika penyelenggaraan PNF dalam bidang PKH tidak mampu membekali warga belajar sejumlah kecakapan pokok di atas. Bahkan - tanpa malu - tetap me-reduplikasi penyelenggaraan pendidikan formal. Maka dipastikan tidak dapat diciptakan wirausaha, sehingga cepat atau lambat kedudukan bangsa dan masyarakat Indonesia tetap menjadi kelas rendah hanya dipandang sebagai bumiputera. Padahal pendidikan secara universal harus diarahkan to improve humanity’s living condition, termasuk di dalam pengertian ini adalah meningkatkan kedudukan masyarakat dan bangsa, termasuk Indonesia.

Kematian wirausaha seperti dikhawatirkan Andreas Harefa bakal menjadi kenyataan karena nyaris sulit untuk menemukan lembaga pengajaran (sekolah dan universitas) yang menawarkan ajaran tentang apa, mengapa, dan bagaimana menjadi business owner dan investor. Pekerjaan orang yang disebut business owner dan investor pada hakekatnya adalah kelompok wirausaha atau orang yang berusaha mandiri.

Agar peran PNF memiliki kekhasan terutama dalam melahirkan wirausaha, sepantasnya bila selama pelaksanaan PKH baik penyelenggara, fasilitator maupun warga belajar menunjukkan tujuh hal berikut:

1. Ide, keyakinan dan visi kuat mengenai masa depan masyarakat dan bagaimana menangguk keuntungan dari semua hal itu;

2. Sensitivitas terhadap kebutuhan pasar;

3. Kreatif untuk menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar;

4. Mengembangkan keberanian untuk mengambil resiko dalam usia muda (risk-taker);

5. Kebiasaan bekerja keras;

6. Toleransi terhadap kegagalan; dan

7. Pantang menyerah serta ketekunan bekerja.

Kesimpulan sekaligus masalah yang dapat dipetik selama ini adalah dasar kesadaran apa yang menyebabkan pelaksanaan PKH hanya dangkal pada upaya pengembangan kecakapan kerja semata? Kemudian perubahan kesadaran seperti apa yang dibutuhkan penyelenggara dan fasilitator agar pelaksanaan PKH turut melahirkan wirausaha yang tentu mampu memberi sumbangan bagi peningkatan derajat kehidupan pribadi maupun masyarakat sekitar?

Seraya menyimpan harap jawaban atas dua pertanyaan di atas, penulis ingin menyampaikan kutipan yang diambil dari Roger A. Kufman yang mengupas perubahan dalam bidang pendidikan.

As educators we can deal with change in several ways. We can be spectators to change, or we may be participants in it. All to often we are spectators and are swept along with condition that cause us to constantly react to situational crises, or even to delay until others make decisions for us.

Kutipan ini memiliki makna bebas berikut: sebagai pendidik kita berhadapan dengan perubahan dalam beragam cara. Kita dapat menjadi penonton terhadap perubahan, atau ikut serta dalam perubahan yang berlangsung. Kebanyakan kita kerap hanya menonton dan larut dalam keadaan yang menjadikan kita selalu bertindak setelah krisis terjadi, atau kita menunda bertindak sampai kemudian orang lain menetapkan nasib kita.

Kutipan di atas semata-mata dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran dalam memaknai keberadaan kita sebagai pegiat dan pendidik PNF.

Sebagai penutup, mengenai kepemimpinan diri dalam pelaksanaan PKH, apakah kita menetapkan untuk diri kita atau membiarkan diri sebagai penonton sampai pihak lain yang menetapkan muatan kepemimpinan diri dalam penyelenggaraan PKH?

Pustaka Rujukan

Ahmadi, Abu.(1975).Sejarah Pendidikan.Semarang:Toha Putra.

Ansyar, M. (Penerjemah). (1984). Arti Pendidikan Bagi Masa Depan. Jakarta: Pustekkom Dikbud dan Rajawali.

Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. (2007). Kumpulan Bahan Training of Trainer Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Tenaga Pendidik Pendidikan Non Formal. Jayagiri: Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. Tidak diterbitkan.

Beeby, C.E. (1968). The Quality of Education in Developing Countries. Second Printing. Cambridge & Massachusetts: Harvard University Press.

Bolton, Robert. (2000). People Skills: How to Assert Yourself, Listen to Others, and Resolve Conflicts. New South Wales: Simon & Schuster.

Byrd, Jack dan L. Ted Moore. (1984). Decission Models for Management. International Student Edition. 2nd Printing. Auckland et.al.: McGraw-Hill International Book Company. p.19.

Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. (1996). Making an Impact: Innovative HRD Approaches to Poverty Alleviation. United Nations: ESCAP.

Harefa, Andreas. (2000). Berwirausaha dari Nol: 10 Kiat Sukses dengan Modal Seadanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

----------- (2005). Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup. Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hamalik, Oemar. (1993). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Mandar Maju.

Imron, Ali. (1996) Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Institute for International Cooperation of The German Adult Education Association. (2001). Adult Education and Development. No. 75. Bonn: Institute for International Cooperation of The German Adult Education Association.

----------- (2001). Adult Education and Development. No. 57. Bonn: Institute for International Cooperation of The German Adult Education Association.

Jaspers, K. (1933). Man in The Modern Age. Diterjemahkan oleh Eden dan Cedar Paul. New York: Henry Holt.

Katoppo, Aristides.et.al. (1997). Dari Meja Tanri Abeng: Gagasan, Wawasan, Terapan dan Renungan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kaufman, Roger A. (1972). Educational System Planning. 7th Printed. New Jersey: Prentice Hall.

Nasution, Amir Taat. (1987). Kamus Politik. Cetakan ke-18. Surabaya: Bina Ilmu.

Peter Sange et.al. (2006). Learning for Sustainability. Cambridge dan Massachusetts: Society for Organizational Learning. p. 96.

Pringgodigdo, A.K. (1970) Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Tjetakan ketudjuh. Djakarta: Dian Rakjat.

Suardi, Edi. (1983). Pedagodik 2: Sistem dan Tujuan Pendidikan. Bandung: Angkasa.

Sekolah Tinggi Manajemen Bandung. (1995) The Professional Business Management Training: Modul Pelatihan Kepemimpinan. Bandung: STMB.

Siagian, S.P. (1981) Sistem Informasi untuk Pengambilan Keputusan. Cetakan VI. Jakarta: Gunung Agung.

Slameto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Cetakan ke-3. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Winarto, Paulus. (2002) First Step to be An Entrepreneur: Berani Mengambil Resiko untuk menjadi Kaya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Tahija, Julius. (1997) Melintas Cakrawala: Kisah Sukses Pengusaha Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.