Thursday, June 30, 2011

Standar Kompetensi VS Kompetensi Dasar


Sudah sejak lama saya dipancing untuk membandingkan makna dan mempertanyakan lebih lanjut kata; standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). Kedua kata ini muncul seiring dengan penggunaan Kurikulum 2004 di tataran pendidikan terutama jalur formal di sekolah. Di kemudian hari praktek jalur pendidikan nonformal mengadopsi dua kata tersebut.

Alih-alih mengumpulkan referensi dan jawaban atas penggunaan SK dan KD, ternyata jawaban yang diinginkan tidak kunjung datang. Penggunaan kedua kata tersebut semakin meluas dan dianggap turunan penyempurnaan atas kekurangan Kurikulum 1974. Penyempurnaan tersebut di kalangan pendidik terutama jalur formal adalah penyesuaian istilah Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). SK merupakan padanan TIU dan KD merupakan padanan TIK. Asal muasal pemilihan padanan baru dari TIU dan TIK ini hanya institusi yang mengembangkan dan menyusun kurikulum pendidikan nasional yang lebih tahu, dan ini bukan merupakan perhatian di sini.

Judul tulisan ini sengaja mempertentangkan atau lebih tepat mempertanyakan SK dengan KD sebagaimana gagasan yang selalu melintas di benak, dimaksudkan selain menyakini kejelasan makna juga untuk turut menyumbangkan sedikit perhatian bagi praktek pendidikan di bumi pertiwi.

Membalik-balik lembaran Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Balai Pustaka, kompetensi dituliskan sebagai kata benda yang menunjukkan kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. Sementara kata sifat dari kompetensi adalah kompeten yang memiliki arti: 1. Cakap (mengetahui); 2. Berwenang; berkuasa (memutuskan, menentukan) sesuatu. Penggunaan kata kompetensi dalam kurikulum dan turunannya termasuk Rencana Program Pembelajaran (RPP, dulu dikenal dengan Satuan Pelajaran) memang bisa dipahami jika hendak menunjukkan tujuan setiap akhir pembelajaran adalah menjadikan peserta didik kompeten.

Giliran pemakaian kata standar pada SK dan dasar pada KD, saya sedikit mengernyitkan kening. Standar sebagai kata benda dalam KBBI memiliki dua kategori dan kategori kedua yang mewakili makna dan sesuai dengan maksud penulisan ini. Kata standar menunjuk pada ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan. Sementara dari sepuluh makna kata dasar sebagai kata benda, salah satu menunjukkan arti alas; fundamen yang berarti dalah patokan juga.

Standar adalah kata yang merujuk pada ketentuan yang menjadi dasar atau pegangan untuk melakukan sesuatu, lihat juga arti patokan dalam KBBI. Sehingga standar yang berarti juga baku yang merujuk sebagai dasar; acuan; fundamen atau landasan. Oleh karena itu, standar kompetensi pada hakekatnya dalam konteks kegiatan belajar mengajar adalah dasar termasuk acuan hasil belajar peserta didik. Lalu mengapa tidak dinamakan kompetensi standar?

Kalau melihat struktur pembentukan kata Bahasa Indonesia Diterangkan Menerangkan (DM) maka penulisan kompetensi standar adalah lebih sesuai dan tepat bandingkan dengan penulisan kompetensi dasar dan bukan dasar kompetensi.

Sambil berharap pendidikan mengejawantahkan tujuan berbangsa dan bernegara, saya berpikir apakah kerancuan makna dalam memilih dan menempatkan kata SK dan KD adalah bagian kisruh pendidikan di tanah air?

Sunday, June 26, 2011

Hikmah Hari Keluarga

Sejak tiga hari menjelang perayaan hari keluarga, puluhan spanduk berwarna putih dan logo BKKBN berwarna biru dipasang di kedua sisi jalan menyambut kedatangan setiap orang sekitar satu kilometer menjelang kota Lembang di bagian utara Bandung. Tentu saja, kemeriahan ini sengaja diadakan terutama untuk menyambut tamu undangan Hari Keluarga ke-18 tahun 2011.

Mendekati perayaan puncak hari keluarga, kepadatan arus lalu lintas semakin bertambah bahkan hingga sabtu malam sekitar pukul sepuluh kendaraan tamu belum berkurang menyesak sepanjang dua jalur jalan yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Subang. Jalan ini saat pergantian hari menjelang dini hari tetap riuh, apalagi jalan ini di saat normal merupakan lintasan ‘rolling’ biker kota Bandung. Penjual penganan ringan dan makanan berat lain seolah mendapat limpahan rizki sepanjang malam.

Ketika minggu beranjak siang, jalan menuju utara kota Bandung ini kembali padat, menjelang tengah hari volume kendaraan roda empat yang melintas tidak sebanding dengan kapasitas jalan sepanjang 15 KM. Mulai dari terminal Ledeng yang bertepatan di pintu gerbang UPI (dulu IKIP Bandung) kendaraan roda empat merayap padat. Jalur alternatif ke arah Lembang melalui Desa – Wisata Bunga – Cihideung tak berdaya menyerap limpahan sejumlah kendaraan berplat nomor dari luar kota dengan varian rata-rata di atas 1.800 cc, baik sedan atau pun MPV.

Kepadatan arus kendaraan ke utara ini hampir tidak pernah dijumpai pada hari kerja biasa termasuk akhir pekan. Kepadatan arus tiga hari menjelang hari keluarga ini hanya dapat diimbangi oleh kepadatan di saat hari lebaran dan tahun baru, dimana waktu tempuh mencapai 3-4 kali waktu normal. Bagi pengguna roda dua, kepadatan arus kendaraan roda empat ini harus ditembus dengan keterampilan manuver memilih ruang kosong di antara antrian mobil dari beragam merek hampir semua merupakan keluaran lima tahun terakhir.

Sejak pintu gerbang masuk utama UPI selepas daerah panorama, pengendara roda dua saja tak bisa bergerak bebas, jalur jalan dari bawah ke atas oleh pengemudi mobil dibuat melebar hingga empat alur hingga pintu gerbang belakang UPI. Selepas pertigaan Sersan Bajuri, bukan hanya pengendara roda dua, pengemudi roda empat pun berebut ruang kosong seperti bahu jalan sehingga di beberapa titik ruas jalan menjadi dua alur. Kepadatan ditambah oleh kendaraan yang melintas dan menyeberang baik masuk maupun ke luar dari sejumlah tempat di pinggir jalan setia budi sampai batas kota. Selepas batas kota pun, kepadatan terus merambat hingga lembang, sejumlah kendaraan besar seperti truk dari lembang harus dialihkan petugas kepolisian menggunakan jalan alternatif.

Magnitude dari peringatan hari keluarga ini tidak hanya kemacetan panjang, lama jarak tempuh Bandung – Lembang, atau puluhan kibaran baliho. Ketiganya secara ekonomis dapat dikalkulasi dan memberikan kontribusi atas omzet perniagaan, belum termasuk meningkatkan tingkat hunian hotel di kawasan bandung dan lembang sebagai tuan tumah. Perhelatan tingkat nasional seperti ini dapat meningkatkan dinamika ekonomi suatu daerah, karena hampir semua perhatian dan tenaga difokuskan dalam mendukung kelancaran dan mengusung citra penyelenggara. Akan tetapi, setelah perhelatan berakhir semua perhatian dan energi yang telah dicurahkan ibarat mencapai titik kulminasi berangsur menurun.

Kebijakan dan upaya memantapkan program kependudukan dan keluarga berencana nasional tidak berakhir seiring perhelatan usai. Tanggung jawab pemerintah, swasta dan masyarakat mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera sebagai keluarga harapan bangsa tidak dapat diserahkan pada mekanisme ‘balikan’ seiring kepadatan kendaraan yang berkurang setelah sejumlah rangkaian kegiatan menjelang hari keluarga ini ditutup.

Sebagian pengguna jalan yang merasakan dampak kepadatan lalu lintas akibat keramaian menjelang peringatan hari keluarga, hanya sempat berpikir apakah kemacetan ini akan semakin sering dialami atau cukup sekali ini? Sebagai keluarga kecil, apakah kebahagiaan dalam menggunakan jalan tanpa macet akan menjadi kenyataan dalam lima tahun? Dan kapan kesejahteraan dapat diraih sebelum harapan sebagai keluarga Indonesia dipenuhi? Bagi orang awam, saya belum memperoleh hikmah pembelajaran dari rangkaian peringatan menjelang hari keluarga tahun 2011.