Sunday, September 30, 2012

Menyongsong KLA di Kabupaten Sukabumi*)

Ujicoba Kabupaten Layak Anak di 28 wilayah yang diinisiasi oleh Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) selama tahun 2011 ternyata belum menyentuh Kabupaten Sukabumi. Padahal, tetangga dekat yakni Kota Sukabumi telah mencatatkan diri sebagai sebagai salah satu kota ujicoba program yang dikawal oleh Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementrian PP dan PA. Bahkan Kota Sukabumi, mencatatkan diri sebagai penerima penghargaan KLA kategori madya, sekaligus menempatkan ‘kota moci’ ini, satu-satunya kota dan Kabupaten di Jabar yang mendapat penghargaan di tahun 2011 yang memusatkan perhatian pada perawatan, kesehatan dan keselamatan anak sejak kandungan ini. Kabupaten Sukabumi dengan wilayah delapan puluh kali luas Kota Sukabumi tidak dapat cukup berdiam diri apalagi sekedar menjadi pelengkap penderita padahal potensi sumber daya alam dan manusia di kabupaten yang akan memperingati hari jadi 1 oktober ini sangat melimpah dan berpotensi ekonomis. Perhatikan saat libur panjang seperti idul fitri kemarin, dalam lima tahun terakhir titik kemacetan hampir dijumpai di sepanjang jalan ke pelabuhan ratu. Menjadikan Kabupaten Sukabumi dengan predikat sebagai Kabupaten Layak Anak bukan hanya mimpi yang mustahil diraih, apabila pemerintah, swasta dan masyarakat menyadari upaya pembangunan berbasis hak anak yang dikembangkan berdasarkan prinsip: tata kelola pemerintahan yang baik meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan dan supremasi hukum; non-diskriminasi, kepentingan anak sebagai prioritas kebijakan, menjamin kelangsungan hidup anak dan kesempatan bagi anak menyatakan kebebasan berpendapat. Untuk mendapatkan predikat KLA, Kabupaten Sukabumi cukup memperhatikan dua indikator yaitu penguatan kelembagaan dan klaster hak anak. Penguatan kelembagaan sebagai indikator pertama dicapai melalui perundangan dan kebijakan pemenuhan hak anak, alokasi anggaran yang sesuai, kegiatan forum anak dan kelompok anak lain, ketersediaan data anak, pengelola KLA, keterlibatan masyarakat dan swasta dalam pemenuhan hak anak. Sedangkan untuk indikator kedua cukup memenuhi hak sipil dan kebebasan, ketersediaan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya serta perlindungan khusus. Hak anak yang berusia kurang dari delapan belas tahun termasuk anak dalam kandungan ini merupakan bagian hak asasi manusia yang wajib dijamin, dan dilindungi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Setiap klaster hak anak ini memiliki indikator yang berbeda unutk setiap kategori. Jawaban atas waktu Kabupaten Sukabumi pantas menjadi Kabuapten Layak Anak berada di pundak setiap orang yang menjadi warga di daerah yang beribukota di palabuan ratu ini. Bukan hanya pemerintah sendiri yang bisa menjawab, dunia usaha swasta dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjadikan Kabupaten Sukabumi Kota Layak Anak, mungkin satu, dua, tiga tahun atau bahkan lima tahun saat merayakan hari jadi kabupaten ke-72 lagi. Namun demikian mari kita menjadikan Kabupaten Sukabumi Layak Anak. *) Gagasan Awal NUMULUS, Sabtu, 1 Sept 2012

Friday, February 17, 2012

Hikmah dari Nganjuk


Pembunuhan Berantai di nganjuk begitu topik yang dihantarkan Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi di akhir pekan (18/2) ini. Acara ini dipandu oleh dua orang anchor, Pramita Andinii dan Abraham Silaban, anchor yang disebut terakhir ternyata tidak berada dalam daftar list website tv swasta tersebut.

M sebagai pelaku yang menyimpang dan dikriminalkan, pada saat awal merupakan pribadi normal yang menyukai wanita. Interaksi di luar sekolah dengan 'media belajar' ternyata mengajarkan dan menghantarkan disorientasi seksual sehingga menyukai sesama jenis seorang pendidik formal bidang studi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang juga adalah majikan tempat M bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Penggalan wawancara yang menyoroti kasus ‘M’ di Jawa timur ini menghadirkan dua nara sumber; psikolog Tika Bisono dan kriminolog Erlangga Masdiana. Kedua narasumber memang menyoroti fenomena perilaku menyimpang pelaku yang 'ngerjain' pesaing cinta sesama jenis dengan racun tikus. Korban pekerjaan pelaku mencapai lima belas orang dan empat diantaranya meninggal. Tika Bisono dengan fasih menegaskan peran dan fungsi BK (Bimbingan Karir, pen) di sekolah yang dianggap menawarkan solusi atas penyimpangan perilaku kriminal. Sedangkan Erlangga Masdiana begitu yakin dengan ‘cultivation effect’ akibat interaksi manusia dengan media.

Kedua narasumber AKI ini hampir melupakan kenyataan pembentukan perilaku dalam dua locus pendidikan antara seseorang sebagai anggota school community dan out of school community. Bahkan interaksi keduanya seperti dipenggal tanpa korelasi dan dianggap tidak menjadikan sebagai sebuah kontinum. Meskipun di akhir, Tika Bisono menyoroti peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan majelis taklim untuk lebih berpean menangkal dan mencegah penyimpangan perilaku. Namun psikolog tersebut tak menawarkan bentuk nyata ‘kondisi belajar’ di luar sekolah yang mustajab.

Beragam kejadian perilaku menyimpang terutama kriminal hingga teroris dapat dipahami sebagai masalah pendidikan. Pendidikan ini bukan hanya mencakup kegiatan formal di sekolah belaka dimana perhatian pemerintah dan masyarakat menjadikan pengelolaan pendidikan formal sebagai anak emas dibandingkan dengan pengelolaan kegiatan pendidikan di luar sekolah (baik nonformal maupun informal).

Untuk melihat jelas ketimpangan perhatian terhadap pendidikan di luar sekolah ini, dapat dilihat dari keberadaan tanggung pengelolaan pendidikan, baik dari sisi struktur organisasi, anggaran hingga jumlah personil yang dilibatkan. Belum lagi jika hendak ditelusuri lebih dalam berkaitan dengan penghargaan dan reward bagi pengelola dan pendidik di luar sekolah.

Jika kemudian gejolak dan dinamika hasil belajar masyarakat berada di jalan yang menyimpang dan ‘out of design’ berdasarkan nilai dan etika. Dapat saja ini dipahami di awal sebagai ‘lampu kuning’ untuk mengkaji kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan tidak hanya mengedepankan sasaran scholastic formal. Dengan keterbatasan rentang waktu seseorang sebagai pribadi maupun anggota masyarakat menjalani kehidupan di sekolah. Maka kedudukan dan potensi situasi pendidikan di luar sekolah harus mulai diperhatikan, dibenahi dan dibangun lebih baik.

Tulisan lain dapat dilihat di: http://www.kompasiana.com/e.hardiyanto