Monday, August 22, 2011

Pendidikan Masyarakat di Luar Sekolah, apa kabar?


Di tengah geliat dinamika peningkatan dan penyesuaian kapasitas masyarakat baik individu maupun komunal. Penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah (out of school community) nampak berbanding negatif dengan keberadaan institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan yang dikenal dengan pendidikan nonformal dan informal sekarang ini. Institusi pemerintah di tingkat pusat yang membantu mentri pendidikan untuk urusan pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah ini sekarang dinamakan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, (Pendidikan) Nonformal dan Informal (PAUDNI), Kementrian Pendidikan Nasional.

Sejarah awal institusi yang menaungi bidang pendidikan di masyarakat selain pendidikan formal di sekolah ini bermula dari pembentukan Departemen Pendidikan Masyarakat tanggal 1 Juni 1946. Departemen ini merupakan unit kementrian pendidikan saat itu yang bertanggung jawab dalam memenuhi tiga kebutuhan, yaitu: pemberantasan buta huruf, penyelenggaraan kursus keterampilan dan pengembangan perpustakaan masyarakat. Ketiga kebutuhan ini merupakan prioritas utama yang dirasakan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia yang baru merdeka. Seperti disadari saat itu, pencapaian pendidikan dasar seperti kecakapan baca-tulis-hitung, begitu juga keterampilan ‘kerja’ kebanyakan masyarakat masih sangat rendah. Sedangkan perpustakaan sebagai ‘lumbung pengetahuan’ diharapkan mampu menyegarkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat setiap saat.

Selama sepuluh tahun terakhir, perubahan semakin tidak dapat dihindari terhadap institusi yang mengelola pendidikan di masyarakat ini. Ketika kabinet pembangunan era orde baru, tanggung jawab pendidikan di masyarakat yang dinamakan pendidikan luar sekolah (PLS) berada satu atap dengan kegiatan pemberdayaan pemuda dan pendidikan olah raga yakni di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (PLSPO).

Di awal era reformasi, pengelolaan PLS dipisahkan dari pemberdayaan pemuda dan pendidikan olah raga sejalan dengan penetapan Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga. Bahkan tidak cukup itu saja, sejalan dengan pemberlakukan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) penggunaan nama PLS pun disesuaikan menjadi pendidikan nonformal (PNF) termasuk Informal, maka kemudian resmi ditetapkan Dirjen Pendidikan Nonformal dan informal (PNFI).

Perkembangan berikutnya dalam satu tahun terakhir, masih didasari oleh UU Sisdiknas yang sama, Dirjen PNFI sebagai institusi pemerintah yang mengelola sumber daya, personil dan anggaran termasuk menyusun kebijakan PNF kembali disesuaikan menjadi Ditjen PAUDNI. Perubahan ini ditengarai sebagai perujudan prioritas dan keinginan pemerintah untuk urusan PNF agar lebih fokus pada pendidikan anak usia dini (PAUD). Kenyataan di masyarakat pada saat awal kelahiran Ditjen PAUDNI ini, hampir semua tenaga akademisi, praktisi dan personil PNF getol dengan penuh semangat mengusung dan menggerakkan beragam program PAUD, berbeda dengan urusan pendidikan nonformal dan informal.

Padahal apabila melihat muatan UU Sisdiknas terutama kategori pendidikan nonformal secara khusus, terdapat jelas delapan kategori yaitu pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan kesetaraan. Semua itu, tidak termasuk satu kategori pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Sehingga apabila sekarang ditetapkan PAUDNI, sebagian masyarakat menduga, siapa tahu kelak di kemudian hari akan dijumpai dirjen pendidikan kecakapan hidup nonformal dan informal (PKHNI), pendidikan kepemudaan nonformal dan informal (PKNI), pendidikan pemberdayaan perempuan nonformal dan informal (P3NI), pendidikan keaksaraan nonformal dan informal (PakNI), pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja nonformal dan informal (PKPKNI), serta pendidikan kesetaraan nonformal dan informal (PSNI).
Nampak bahwa pengelolaan pendidikan masyarakat di luar sekolah masih belum optimal setidaknya masih dirasakan ada kesan pertarungan politis yang melatarbelakangi kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dilihat dari dua paradigma pendidikan formal scholastic dengan paradigma hakekat pendidikan seumur hidup.

Kewajiban belajar merupakan salah satu dari ujud nyata dan bukan tujuan dari Education for All (EFA) itu sendiri. Sehingga tugas pemerintah belum selesai sekalipun telah menuntaskan kewajiban pendidikan dasar sembilan tahun bagi seluruh rakyatnya. Serupa dengan pencapaian derajat keaksaraan masyarakat, tugas pemerintah untuk membebaskan ‘illiteracy’ belum berakhir sekalipun derajat melek huruf ini sudah tidak digunakan sebagai variabel dalam kalkulasi indeks pendidikan dalam laporan tahunan badan PBB untuk pembangunan atau UNDP. Laporan tahunan ini mengurutkan seluruh negara berdasarkan peringkat indeks pembangunan manusia, dan sejak tahun 2010 tidak lagi menghitung angka melek huruf suatu negara.

Spektrum pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah mencakup hampir seluruh segi pengembangan kapasitas seseorang dan masyarakat secara massal. Kapasitas ini meliputi penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan sepanjang seseorang menjalani kehidupan serta berinteraksi di tengah masyarakat. Ternyata pula, spektrum pendidikan bagi masyarakat ini memiliki kemasan beragam mulai dari kegiatan sosialisasi, penyuluhan, bimbingan, hingga konseling dimana menyediakan ruang interaksi pembelajaran antara sumber belajar dan peserta belajar.

Relasi pembelajaran yang dialami oleh masyarakat di luar sekolah mencakup proses yang direncanakan secara sengaja oleh nara sumber termasuk provider, sebagaimana kegiatan pendidikan pada umumnya yang juga didasari kesengajaan peserta untuk belajar. Akan tetapi, sering pula relasi pembelajaran ini menyediakan kesempatan yang tidak disengaja oleh peserta belajar, seperti dalam contoh: kampanye tertib lalu lintas, promosi produk baru hingga sosialisasi kebijakan publik, dimana peserta tidak menyadari keterlibatan sejak awal, berbeda dengan keterlibatan peserta dalam kursus atau pelatihan yang secara sadar dan sengaja dipilih.

Spektrum yang ditawarkan oleh relasi pembelajaran serta urgensi kebutuhan muatan belajar masyarakat di luar sekolah telah menciptakan dukungan dimensi pelaku dan penyedia pendidikan untuk masyarakat. Oleh karena itu, tugas dan intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi pendidikan untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah perlu melibatkan pelaku sekaligus institusi penyelenggara baik itu lembaga masyarakat, lembaga pemerintah hingga lembaga swasta.

Dalam menyikapi masalah pelaksanaan dan dukungan praktek pendidikan di masyarakat luar sekolah, sudah tepat jika dapat ditetapkan regulator, eksekutor dan provider dengan menyederhanakan dan merampingkan duplikasi peran institusi yang berkepentingan untuk meningkatkan pengetahuan, mengembangkan kecakapan dan sikap baru. Dan jika benar, urgensi peningkatan kapasitas diri seseorang dan masyarakat secara komunal adalah tanggung jawab pemerintah di bidang pendidikan dan bukan hanya praktek formal di sekolah semata. Maka, penghargaan yang sangat tinggi diberikan jika kesadaran untuk mendidik masyarakat di luar sekolah menjadi keprihatinan akademisi, dan praktisi yang menggeluti paradigma formal scholastic.

Thursday, June 30, 2011

Standar Kompetensi VS Kompetensi Dasar


Sudah sejak lama saya dipancing untuk membandingkan makna dan mempertanyakan lebih lanjut kata; standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). Kedua kata ini muncul seiring dengan penggunaan Kurikulum 2004 di tataran pendidikan terutama jalur formal di sekolah. Di kemudian hari praktek jalur pendidikan nonformal mengadopsi dua kata tersebut.

Alih-alih mengumpulkan referensi dan jawaban atas penggunaan SK dan KD, ternyata jawaban yang diinginkan tidak kunjung datang. Penggunaan kedua kata tersebut semakin meluas dan dianggap turunan penyempurnaan atas kekurangan Kurikulum 1974. Penyempurnaan tersebut di kalangan pendidik terutama jalur formal adalah penyesuaian istilah Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). SK merupakan padanan TIU dan KD merupakan padanan TIK. Asal muasal pemilihan padanan baru dari TIU dan TIK ini hanya institusi yang mengembangkan dan menyusun kurikulum pendidikan nasional yang lebih tahu, dan ini bukan merupakan perhatian di sini.

Judul tulisan ini sengaja mempertentangkan atau lebih tepat mempertanyakan SK dengan KD sebagaimana gagasan yang selalu melintas di benak, dimaksudkan selain menyakini kejelasan makna juga untuk turut menyumbangkan sedikit perhatian bagi praktek pendidikan di bumi pertiwi.

Membalik-balik lembaran Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Balai Pustaka, kompetensi dituliskan sebagai kata benda yang menunjukkan kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. Sementara kata sifat dari kompetensi adalah kompeten yang memiliki arti: 1. Cakap (mengetahui); 2. Berwenang; berkuasa (memutuskan, menentukan) sesuatu. Penggunaan kata kompetensi dalam kurikulum dan turunannya termasuk Rencana Program Pembelajaran (RPP, dulu dikenal dengan Satuan Pelajaran) memang bisa dipahami jika hendak menunjukkan tujuan setiap akhir pembelajaran adalah menjadikan peserta didik kompeten.

Giliran pemakaian kata standar pada SK dan dasar pada KD, saya sedikit mengernyitkan kening. Standar sebagai kata benda dalam KBBI memiliki dua kategori dan kategori kedua yang mewakili makna dan sesuai dengan maksud penulisan ini. Kata standar menunjuk pada ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan. Sementara dari sepuluh makna kata dasar sebagai kata benda, salah satu menunjukkan arti alas; fundamen yang berarti dalah patokan juga.

Standar adalah kata yang merujuk pada ketentuan yang menjadi dasar atau pegangan untuk melakukan sesuatu, lihat juga arti patokan dalam KBBI. Sehingga standar yang berarti juga baku yang merujuk sebagai dasar; acuan; fundamen atau landasan. Oleh karena itu, standar kompetensi pada hakekatnya dalam konteks kegiatan belajar mengajar adalah dasar termasuk acuan hasil belajar peserta didik. Lalu mengapa tidak dinamakan kompetensi standar?

Kalau melihat struktur pembentukan kata Bahasa Indonesia Diterangkan Menerangkan (DM) maka penulisan kompetensi standar adalah lebih sesuai dan tepat bandingkan dengan penulisan kompetensi dasar dan bukan dasar kompetensi.

Sambil berharap pendidikan mengejawantahkan tujuan berbangsa dan bernegara, saya berpikir apakah kerancuan makna dalam memilih dan menempatkan kata SK dan KD adalah bagian kisruh pendidikan di tanah air?

Sunday, June 26, 2011

Hikmah Hari Keluarga

Sejak tiga hari menjelang perayaan hari keluarga, puluhan spanduk berwarna putih dan logo BKKBN berwarna biru dipasang di kedua sisi jalan menyambut kedatangan setiap orang sekitar satu kilometer menjelang kota Lembang di bagian utara Bandung. Tentu saja, kemeriahan ini sengaja diadakan terutama untuk menyambut tamu undangan Hari Keluarga ke-18 tahun 2011.

Mendekati perayaan puncak hari keluarga, kepadatan arus lalu lintas semakin bertambah bahkan hingga sabtu malam sekitar pukul sepuluh kendaraan tamu belum berkurang menyesak sepanjang dua jalur jalan yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Subang. Jalan ini saat pergantian hari menjelang dini hari tetap riuh, apalagi jalan ini di saat normal merupakan lintasan ‘rolling’ biker kota Bandung. Penjual penganan ringan dan makanan berat lain seolah mendapat limpahan rizki sepanjang malam.

Ketika minggu beranjak siang, jalan menuju utara kota Bandung ini kembali padat, menjelang tengah hari volume kendaraan roda empat yang melintas tidak sebanding dengan kapasitas jalan sepanjang 15 KM. Mulai dari terminal Ledeng yang bertepatan di pintu gerbang UPI (dulu IKIP Bandung) kendaraan roda empat merayap padat. Jalur alternatif ke arah Lembang melalui Desa – Wisata Bunga – Cihideung tak berdaya menyerap limpahan sejumlah kendaraan berplat nomor dari luar kota dengan varian rata-rata di atas 1.800 cc, baik sedan atau pun MPV.

Kepadatan arus kendaraan ke utara ini hampir tidak pernah dijumpai pada hari kerja biasa termasuk akhir pekan. Kepadatan arus tiga hari menjelang hari keluarga ini hanya dapat diimbangi oleh kepadatan di saat hari lebaran dan tahun baru, dimana waktu tempuh mencapai 3-4 kali waktu normal. Bagi pengguna roda dua, kepadatan arus kendaraan roda empat ini harus ditembus dengan keterampilan manuver memilih ruang kosong di antara antrian mobil dari beragam merek hampir semua merupakan keluaran lima tahun terakhir.

Sejak pintu gerbang masuk utama UPI selepas daerah panorama, pengendara roda dua saja tak bisa bergerak bebas, jalur jalan dari bawah ke atas oleh pengemudi mobil dibuat melebar hingga empat alur hingga pintu gerbang belakang UPI. Selepas pertigaan Sersan Bajuri, bukan hanya pengendara roda dua, pengemudi roda empat pun berebut ruang kosong seperti bahu jalan sehingga di beberapa titik ruas jalan menjadi dua alur. Kepadatan ditambah oleh kendaraan yang melintas dan menyeberang baik masuk maupun ke luar dari sejumlah tempat di pinggir jalan setia budi sampai batas kota. Selepas batas kota pun, kepadatan terus merambat hingga lembang, sejumlah kendaraan besar seperti truk dari lembang harus dialihkan petugas kepolisian menggunakan jalan alternatif.

Magnitude dari peringatan hari keluarga ini tidak hanya kemacetan panjang, lama jarak tempuh Bandung – Lembang, atau puluhan kibaran baliho. Ketiganya secara ekonomis dapat dikalkulasi dan memberikan kontribusi atas omzet perniagaan, belum termasuk meningkatkan tingkat hunian hotel di kawasan bandung dan lembang sebagai tuan tumah. Perhelatan tingkat nasional seperti ini dapat meningkatkan dinamika ekonomi suatu daerah, karena hampir semua perhatian dan tenaga difokuskan dalam mendukung kelancaran dan mengusung citra penyelenggara. Akan tetapi, setelah perhelatan berakhir semua perhatian dan energi yang telah dicurahkan ibarat mencapai titik kulminasi berangsur menurun.

Kebijakan dan upaya memantapkan program kependudukan dan keluarga berencana nasional tidak berakhir seiring perhelatan usai. Tanggung jawab pemerintah, swasta dan masyarakat mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera sebagai keluarga harapan bangsa tidak dapat diserahkan pada mekanisme ‘balikan’ seiring kepadatan kendaraan yang berkurang setelah sejumlah rangkaian kegiatan menjelang hari keluarga ini ditutup.

Sebagian pengguna jalan yang merasakan dampak kepadatan lalu lintas akibat keramaian menjelang peringatan hari keluarga, hanya sempat berpikir apakah kemacetan ini akan semakin sering dialami atau cukup sekali ini? Sebagai keluarga kecil, apakah kebahagiaan dalam menggunakan jalan tanpa macet akan menjadi kenyataan dalam lima tahun? Dan kapan kesejahteraan dapat diraih sebelum harapan sebagai keluarga Indonesia dipenuhi? Bagi orang awam, saya belum memperoleh hikmah pembelajaran dari rangkaian peringatan menjelang hari keluarga tahun 2011.