Saturday, March 8, 2008

Dimana tempat mencerdaskan diri?

Sistem pendidikan nasional Indonesia menegaskan pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan in formal sebagai pilar utama. Ketiganya menyokong dan menyangga tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan himpunan dari masyarakat Indonesia.
Dalam kenyataannya masih banyak pertanyaan tersisa, seperti apakah telah ketiga pilar tadi berperan penting dan seimbang secara signifikan terhadap bangunan kecerdasan masyarakat Indonesia? Bagaimana cara masyarakat hendak menjadi cerdas dengan memanfaatkan kehandalan pendidikan formal maupun informal dibanding pendidikan formal? Mengapa kebijakan pemerintah lebih memihak pendidikan formal dibanding dua saudara kandung lainnya?

Jika landasan pemikiran kecerdasan sejak awal dibangun pendiri taman siswa, Ki Hajar Dewantara dengan bentuk 'taman' daripada sekolah formal, jelas makna pendidikan yang mencerdaskan adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan non formal dan in formal. Akan tetapi sekali lagi, sistem pendidikan nasional yang ditetapkan melalui Undang Undang No. 20 tahun 1993 lebih menegaskan penyelenggaraan pendidikan pada 'dychotomi' antara formal, non formal dan in formal yang dicitrakan melalui kelembagaan.

Sejatinya, paham kelembagaan bukan menjadi dasar kategorisasi penyelenggaraan pendidikan di tanah. Perkembangan pemahaman ini menjadi semakin sulit ketika pers, dan masyarakat awam lebih memusatkan perhatian pada bangunan sekolah yang rusak daripada proses pendidikan sendiri. Pemahaman 'racun-kelembagaan' seperti ini tidak hanya merasuki penentu kebijakan, dan penyelenggara pendidikan di tanah air, bahkan telah menghinggapi anak-anak yang mengikuti program pendidikan non formal. Anak-anak yang belajar melalui program pendidikan non formal seperti paket A, paket B, Paket C merasakan lebih 'nyaman' jika dapat seperti rekan-rekan mereka di pendidikan formal memiliki seragam, dan bangunan permanen. Proses pendidikan telah dikebiri dengan struktur formal-kelembagaan.

Penyelenggara pendidikan non formal di lain pihak tidak memiliki pilihan lain untuk mengembangkan pemikiran selain mengikuti 'pakem' pendidikan formal melalui sekolah formal yang mereka kecap.

Bagi masyarakat di tanah air, belum tiba saat ini untuk mewujudkan harapan mencerdaskan tanpa sekolah formal. Hal ini, selain kebijakan pendidikan nasional yang lamban memihak pada penyelenggaraan pendidikan semesta (education for all), ternyata departemen terkait masih harus membongkar 'cendawan pendidikan formal' pada dinding yang membatasi koordinasi penyelenggaraan pendidikan.

No comments: