Wednesday, October 15, 2008

Leadership as Life Skill Education Content

Kepemimpinan Diri suatu Proses Refleksi

Memperhatikan ranah kecakapan yang dikelompokkan dalam sasaran Pendidikan Kecakapan Hidup - terutama pada kecakapan pribadi - kepemimpinan diri belum merupakan kecakapan pokok.

Kecakapan pribadi yang dimaksud hanya menekankan pada kecakapan mengenal diri, berpikir rasional dan percaya diri.

Begitu pula dalam kecakapan sosial, kepemimpinan diri belum dipandang sejajar dengan kecakapan komunikasi dan kerjasama.

Padahal apabila hendak dikaji lebih seksama, fungsi kepemimpinan diri merupakan fungsi yang dapat diproyeksikan dari gabungan himpunan kecakapan mengenal diri, berpikir rasional dan percaya diri maupun himpunan kecakapan sosial seperti komunikasi dan bekerja sama.

Mengingat maksud penulisan buku ini adalah menyampaikan usulan pembaruan terhadap pemahaman tenaga kependidikan PNF dalam Kecakapan Pendidikan Kecakapan Hidup. Maka kajian latar belakang kepemimpinan sebagaimana yang dikenal dalam berbagai wacana manajemen tidak menjadi porsi terbesar materi yang disajikan. Hal ini mengingat sandaran kajian kepemimpinan dalam manajemen telah banyak diketahui dan diungkap berbagai bahan bacaan umum. Dengan demikian, paparan dalam buku ini lebih menyoroti dua kecakapan pokok yang dianggap mendasari kepemimpinan diri, yakni kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.

Keterkaitan kecakapan pribadi dan kecakapan sosial memiliki kedekatan dibanding dua kecakapan lain; kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Pemahaman ini mengedepankan kecakapan pribadi dan sosial sebagai aktualisasi faktor internal seseorang. Sementara kecakapan akademik dan vokasional dipandang sebagai eksternalisasi faktor internal seseorang yang dibawa sejak lahir.

Kedudukan Penting Kepemimpinan diri dalam Pendidikan Kecakapan Hidup

Pencanangan program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) sebagai alur pokok Program Pendidikan Non Formal (PNF) sementara ini kental dengan muatan vokasional. Sejak awal, pencetus PKH maupun pegiat PNF di berbagai jenjang banyak memprioritaskan pada implementasi kegiatan pendidikan vokasional yang sarat dengan program keterampilan untuk mampu bekerja. Tindakan latah ini pun kerap oleh pegiat PNF diikuti dengan berbagai upaya pembenaran agar pendidikan vokasional tersebut mampu memberikan manfaat keuangan bagi warga belajar PKH. Padahal kemampuan produksi seseorang – termasuk warga belajar PKH, merupakan simpul dari sejumlah ikatan kecakapan seorang entrepreneur.

Menurut Hermawan Kartajaya, entrepreneur merupakan proses untuk menangkap dan mewujudkan suatu peluang terlepas dari sumber daya yang ada, serta membutuhkan keberanian untuk mengambil resiko yang telah diperhitungkan.

Sehingga menjadi kurang tepat, manakala memahami PKH sebatas pada pendidikan vokasional saja, kemudian warga belajar PNF dihadapkan pada tantangan untuk menghidupi diri mereka sendiri di tengah belantara dunia usaha. Secara ideal, pemahaman PKH harus dirunut sebagai penguasaan berbagai kecakapan hidup dan turunannya. Namun itu pun belum cukup memadai, mengingat kepemimpinan diri tidak disajikan melengkapi kecakapan hidup untuk berani meng­hadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mampu mencari serta menemukan solusi.

Hingga di sini, terdapat kesan PKH oleh pegiat PNF terlalu disederhanakan sebagai pendidikan vokasional. Imbas dari pemahaman yang kurang padan ini, jelas dapat dilihat dari setiap upaya pelaksanaan PKH, seperti kurikulum dan materi bahan yang sarat dengan pendidikan kecakapan kerja. Padahal bila hendak disadari, kecakapan kerja itu sendiri merupakan akumulasi dari sejumlah keterampilan awal seperti kecakapan pribadi, sosial dan juga akademik. Penguasaan seperangkat kecakapan awal tadi, selanjutnya diserap dalam ‘kuasa atas diri sendiri sebelum ditampilkan dalam dimensi akhir kecakapan kerja.

Penyerapan sejumlah kecakapan awal dan menyalurkannya dalam kecakapan kerja, merupakan hakekat kepemimpinan diri. Makna kepemimpinan itu sendiri adalah kemampuan memperoleh konsensus dan keikatan pada sasaran, melampuai syarat-syarat yang dicapai dengan pengalaman.

Sejenak, kita perhatikan kutipan pengalaman seorang pengusaha nasional (kotak 1) bagaimana memulai usaha sebagai entrepreneur.

Contoh sekuel awal perjalanan hidup seorang pengusaha asal Saumlaki, Kepulauan Tanimbar yang terletak di Laut Banda sengaja dikutipkan dengan dua alasan. Pertama, menegaskan kembali bahwa PKH yang berorientasi pada menciptakan entrepreneur tidak hanya bergantung semata pada kecakapan vokasional yang mengutamakan pada kecakapan kerja. Kedua, kecakapan entrepreneur merupakan imbas utama dari kecakapan pribadi yang terus bergulir didukung kecakapan sosial.

Adalah wajar, jika keberhasilan PKH dalam menyemai kecakapan kerja kemudian tidak diikuti keberhasilan warga belajar berusaha mandiri, karena pondasi kecakapan pribadi dan kecakapan sosial tidak memperoleh perhatian cukup.

Pendidikan PKH dalam kecakapan kerja bagi warga belajar yang memiliki bekal kecakapan pribadi dan sosial yang mumpuni, memberikan peluang tambahan dalam menciptakan usaha baru. Sementara bagi warga belajar yang belum memiliki bekal kecakapan pribadi dan sosial yang dibutuhkan, maka menjadi kewajiban fasilitator PKH untuk mengembangkan dan membangkitkannya.

Apa yang dituturkan oleh Yulius Tahija, memang tidak menyebutkan kecakapan yang menjadikan dia pengusaha sebagai hasil PKH. Namun demikian, melalui pengalaman beliau dapat ditelusuri seperangkat kecakapan yang kemudian kita kenal dalam empat ranah PKH.

Bagi penulis sendiri, empat ranah tersebut harus menjadi ‘perangkat’ bagi seorang warga belajar PKH dan memanfaatkan perangkat kecakapan tersebut melalui kepemimpinan diri. Yulius Tahija menunjukkannya dengan berjalan kaki sebelum naik angkutan umum. Padahal dia sendiri dapat memilih naik angkutan umum langsung dan menghabiskan seluruh bekal sekolah.

Keputusan Yulius Tahija berjalan kaki, mungkin saja mendapat ‘cemooh’ dari teman sekolah atau orang lain yang melihat dia, terlebih dia berasal dari keluarga berkecukupan. Disinilah letak kepemimpinan diri yang ingin saya pahami dalam PKH.

Akan menjadi sia-sia, jika PKH yang diselenggarakan dan mampu menghantarkan hasil memuaskan untuk hidup mandiri, ternyata tidak diimbangi dengan kepemimpinan diri warga belajar. Apalagi hidup mandiri akan menemukan beberapa pandangan yang menghambat saya berkembang untuk menjadi seorang entrepreneur. Sehingga kepemimpinan diri akan memberikan kemampuan tambahan untuk melampaui hambatan dalam perkembangan hidup seorang warga belajar berkenaan dengan the societal aspect of decision making (aspek sosial pengambilan keputusan). Terlebih bila kelak warga belajar menjadi seorang entrepreneur. Termasuk memilah pilihan akibat keadaan yang digambarkan Harold G. Shane sebagai future shock (kejutan masa depan) yang dihasilkan ciptaan teknologi.

Sejak sepuluh tahun terakhir, saat orde baru berakhir dan hantaman krisis multidimensi membuat segenap aspek kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia terkapar dengan puluhan juta korban ekonomi, kini memerlukan puluhan juta wirausahawan (entrepreneur, pen.) baru. Sejumlah harapan agar pendidikan mampu menjadi ‘tongkat obat krisis’ sampai sekarang belum dapat menciptakan mukjizat penyembuhnya. Apalagi dengan pemahaman PKH sebatas mendidik kecakapan kerja minus kepemimpinan diri.

Padahal dalam konteks kepemimpinan selalu mengandung anticipating the future yang berarti kemampuan mengantisipasi kemungkinan di masa datang, lebih dari sekedar memimpikan atau sekear meramalkan kejadian di masa depan. Bahkan juga mencakup discovering the mission, formulation the vision, dan taking masive action into the future. Kepemimpinan lebih lanjut mencakup menemukan misi hidup, menyusun visi pribadi dan mengembangkan tindakan bersama untuk mewujudkan harapan di masa yang akan datang.

Letak kepemimpinan dalam kecakapan yang disasar PKH dapat digambarkan dalam empat triangulasi Jansen H. Sinamo yang dinamakan tetra mahardika


Seorang warga belajar PKH yang menguasai kecakapan vokasi / kerja tertentu dapat dipahami telah mencapai tingkat inovasi dibanding kecakapan awal sebelum mengikuti PKH. Kecakapan baru yang sudah dimiliki harus tetap menjadi keunggulan sepanjang waktu dengan mengantisipasi keadaan di masa depan yang dihantarkan oleh kepemimpinan diri. Kecakapan inovasi yang diunggulkan tersebut, oleh seorang warga belajar harus mampu diujudkan dalam etos kerja. Etos kerja yang optimal diperankan seorang warga belajar PKH adalah yang memenuhi paradigma ACE: Align, Create dan Empower.

Etos kerja warga belajar PKH yang didukung empat kompetensi; pribadi, sosial, akademik dan vokasional harus melahirkan daya saing pribadi atas keunggulan kecakapan yang terus menerus dikembangkan secara kolaborasi dalam kelompok belajar, memupuk kecakapan baru dan saling membelajarkan kecakapan di antara sesama warga belajar.

Dalam kenyataan yang ditemukan pada program PKH, pihak penyelenggara justeru tidak menaruh hirau pada aspek strategis kepemimpinan diri warga belajar. Pengamatan di sejumlah tempat penyelenggaraan PKH, justeru menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Selain diakibatkan kecenderungan penyelenggara dan fasilitator hanya memahami PKH sebatas pengembangan kecakapan vokasional. Kepemimpinan diri warga belajar kerap luput dari materi ajar dan bahasan PKH dikarenakan:

1. Struktur Kurikulum belum tegas menyebut konsentrasi kepemimpinan diri dalam salah satu dari empat maupun keseluruhan kompetensi PKH.

2. Strategi pembelajaran yang kurang tepat, kegiatan warga belajar di kelas sebagian besar dikendalikan oleh pembalajaran praktek, demonstrasi dan penugasan untuk menemukan ‘try and error’ setelah fasilitator menjelaskan tahapan kegiatan di awal pertemuan.

3. Masukan umpan balik baik kegiatan PKH harian maupun keseluruhan tidak ada. Masukan yang berguna untuk menjamin keberhasilan PKH tidak dihimpun karena berbagai alasan. Penyelenggara dan fasilitator selain tidak memiliki kemampuan memadai baik teknik maupun strategi menghimpun umpan balik. Persoalan masukan setelah program PKH dilaksanakan tidak menjadi perhatian sendiri bahkan diukur sebagai paket keberhasilan institusi penyelenggara.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa kebermaknaan kepemimpinan diri yang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan PKH dan menjadi muatan utama yang dirangkum dalam empat kompetensi PKH, justeru tidak dihadirkan sebagaimana mestinya.

Secara mendasar, hal ini merupakan refleksi kepemimpinan diri penyelenggara maupun fasilitator PKH yang selama interaksi pembelajaran berlangsung lahir dalam ujud kepemimpinan warga belajar. Adalah wajar, penyelenggaraan PKH yang telah berlangsung dalam berbagai tahapan waktu dan tingkat penyelenggaraan belum mampu memberikan sumbangan nyata bidang pendidikan bagi keseluruhan aspek kehidupan masyarakat yang masih dalam bayang-bayang akibat krisis moneter. Mungkin karena faktor kepemimpinan diri ini dilupakan atau tidak dianggap penting. Padahal dalam lingkungan dunia usaha yang sangat dinamis, kepemimpinanlah yang merupakan kunci utama12). Oleh karena itu, patut disayangkan, kepemimpinan diri dalam PKH justeru diabaikan. Sebelum terlambat sama sekali, cukup andaikata sekarang ini dipikirkan bagaimana kepemimpinan diri dijadikan muatan integratif PKH.

Mengemas Pembelajaran Kepemimpinan diri dalam Pendidikan Kecakapan Hidup

Kecakapan hidup yang selama ini dikenal dalam dua sifat utama yaitu generic skill dan specific skill. Kecakapan generik terdiri dari kecakapan personal yang mencakup kesadaran / memahami diri, kecakapan berpikir, kecakapan komunikasi dan bekerjasama. Sementara kecakapan spesifik yang berorientasi untuk menghadapi pekerjaan mencakup kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.

Kepemimpinan diri sebagai kecakapan yang memiliki nuansa tersendiri memang tidak mendapat tempat pada pengelompokkan di atas. Semoga kekurangan ini hal tidak sengaja atas pemilahan yang dijadikan rujukan kompetensi PKH secara nasional.

Jika kepemimpinan diri erat melekat pada salah satu kompetensi, maka kecakapan diri merupakan rumah yang tepat. Namun demikian, kepemimpinan diri dapat mengambil bentuk dan merefleksikan dalam kecakapan lain seperti kecakapan sosial, akademik maupun kecakapan vokasional.

Namun sangat disayangkan, dalam berbagai kesempatan pelatihan bagi penyelenggaraan PKH, seperti juga Training of Trainer Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Tenaga Pendidik Pendidikan Non Formal di Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Regional II, kehadiran kecakapan kepemimpinan diri masih belum dirasakan penting. Kenyataan ini merupakan hasil dari belum ditemukannya format dan turunan kecakapan kepemimpinan diri. Meskipun untuk empat kecakapan hidup lain juga belum dapat disusun format dan turunan dalam bentuk kurikulum, strategi pembelajaran maupun penilaian lanjutan dalam kemasan PKH.

Alih-alih menunggu kesadaran bersama bagi kecakapan kepemimpinan diri muncul dan diterima sebagai bagian kecakapan personal. Selain memakan waktu lama dan belum pasti. Dalam bagian ini, penulis mencoba mengelaborasi bentuk kurikulum, strategi pembelajaran dan penilaian kecakapan kepemimpinan diri. Disertai harapan bagian ini mengilhami penyempurnaan muatan kepemimpinan diri dalam PKH.

1. Kurikulum Kepemimpinan diri

Seperti kecakapan personal dan sosial yang harus memberi cermin dan nuansa dalam pembelajaran PKH. Maka, fasilitator harus menandaskan bahwa situasi di sekolah, tempat penyelenggaraan PKH adalah berbeda dengan keadaan di masyarakat, tempat ujian kehandalan atas kecakapan hidup yang dikuasai.

Kurikulum kepemimpinan diri dengan sendirinya perlu memperhatikan ekologi pendidikan2). Di dalam kelas sendiri selama penyelenggaraan PKH, fasilitator dapat memainkan sejumlah skenario pembelajaran untuk mengenal dan memperkenalkan ‘lesson learning’ persoalan nyata yang memiliki imbas terhadap kepemimpinan diri. Tentu saja, skenario ini tidak dapat dipisahkan dari pilihan strategi pembelajaran di dalam kelas.

2. Strategi Pembelajaran Kepemimpinan diri

Jika struktur kurikulum yang disepakati bersama antara fasilitator (termasuk penyelenggara) dan warga belajar PKH. Maka strategi pembelajaran kepemimpinan diri dapat dikembangkan dalam dua kategori berdasarkan proses pembelajaran dilangsungkan.

a. on class, pilihan strategi pembelajaran dapat dilaksanakan menurut skenario lingkungan belajar yang mensyaratkan keterlibatan warga belajar baik sebagai pemimpin maupun yang dipimpin. Pelaksanaan strategi ini tepat digunakan saat warga belajar berinteraksi langsung dengan fasilitator di dalam kelas.

Sebagai interaksi antara warga belajar dan fasilitator yang menhantarkan pembelajaran, keterlebitan unsur dinamis dalam belajar mutlak dijadikan bahan pertimbangan dalam pembelajaran kepemimpinan diri ini. Unsur dinamis ini oleh Ali Imron3) disusun sebagai berikut:

1) motivasi warga belajar,

2) bahan belajar dan upaya penyediaannya,

3) alat bantu belajar dan upaya penyediaannya,

4) suasana belajar dan upaya pengembangannya,

5) kondisi warga belajar dan upaya penyiapan dan peneguhannya.

Kelima unsur dinamis ini bagi fasilitator PKH yang menjadi bagian Pendidik PNF merupakan keadaan yang sama sekali berbeda dibanding para tenaga pendidik formal.

Motivasi warga belajar PKH yang kuat saat awal diterima – tidak jarang - akan serta merta berubah sejalan dengan suasana belajar yang tidak sesuai dugaan mereka atau bahkan dirasakan membebani. Berbeda dengan motivasi murid peserta PKH di sekolah. Tanggung jawab fasilitator PKH menggawangi motivasi ini beberapa kali harus dihadapkan pada keadaan yang melatarbelakangi akibat rentang usia dan tanggung jawab keluarga di antara warga belajar berpaut jauh.

Bahan belajar tersedia yang tidak praktis dan susah dipahami oleh mereka yang mulai belajar kembali pun menyebabkan motivasi belajar menurun. Apalagi, bila pembelajaran kepemimpinan diri membutuhkan bahan belajar yang harus diadakan sendiri dan mengurangi jatah uang belanja harian. Ketersediaan bahan belajar yang memerlukan pemasangan yang rumit dan memakan waktu, juga memiliki potensi mengurangi motivasi belajar kepemimpinan diri. Keadaan yang sama dapat berlaku untuk alat bantu lain.

Suasana belajar yang mewakili situasi seperti di sekolah formal, membutuhkan kecerdikan fasilitator kepemimpinan diri. Kecerdikan ini sering kali pula harus menyebabkan bentuk pengorbanan lain seperti tenaga dan stamina menghadapi warga yang cepat terkuras. Apalagi tempat pertemuan antara warga belajar dan fasilitator berada di ruang terbuka, suara dan mobilitas fasilitator selama pembelajaran PKH tidak menyerupai pembelajaran di kelas yang biasa ditemukan di sekolah formal.

Kondisi warga belajar yang memerlukan upaya tambahan dalam penyiapan pembelajaran (pra kondisi) kerap tidak hanya cukup dengan memancing perhatian seperti berlaku dengan murid di sekolah biasa.

Jika fasilitator berkemampuan super, lalu dapat mengatasi tantangan strategi pembelajaran di atas, bukan berarti pembelajaran kepemimpinan diri dalam PKH dikatakan berhasil. Karena, strategi pembelajaran yang membuat warga belajar berhasil on class, belum menggambarkan pencapaian off class. Keberhasilan strategi pembelajaran berdasarkan the classroom conception4) seperti ini dikatakan Beeby belum cukup memadai.

b. off class, strategi pembelajaran di luar kelas tidak lagi mengandalkan kendali fasilitator. Warga belajar akan menunjukkan rentang dari unjuk kepemimpinan diri secara alami. Fasilitator dapat berperan mengarahkan dan memperkenalkan praktek kepemimpinan yang diharapkan dapat memperkaya rujukan warga belajar dalam mengaktualkan kepemimpinan diri.

Strategi pembelajaran sebagai pendekatan bersifat aksiomatik maka metode bersifat prosedural. Dengan demikian, strategi pembelajaran kepemimpinan diri dalam PKH memungkinkan terdapat banyak metode6).

Permasalahan strategi pembelajaran kepemimpinan diri dalam PKH tidak mungkin lebih sederhana dari strategi konvensional yang mencakup saja komponen masukan, proses dan produk atau variabel tujuan pengajaran, materi pelajaran, metode dan teknik mengajar, siswa, guru dan logistik7).

Pembelajaran Kepemimpinan diri dalam PKH tidak dapat mengandalkan gagasan Romiszowski pada strategi advocate active learner participation in the lesson. Jika tentu saja mengabaikan dua belas pokok perhatian strategi belajar.

3. Penilaian berkelanjutan Kepemimpinan diri

Penilaian berkelanjutan kepemimpinan diri penyelenggaraan PKH sejalan dengan pengembangan kecakapan hidup lebih diarahkan pada off-evaluation. Bentuk penilaian ini, berbeda dari pre-evaluation maupun post-evaluation. Dua penilaian terakhir yang disebut berlangsung dalam rentang masa penyelenggaraan PKH. Sedangkan penilaian berkelanjutan mensyaratkan pendampingan dan pembinaan kepemimpinan diri berdasarkan temuan dari hasil off-evaluation.

Seandainya melihat pada sebelas jenis belajar dan faktor yang mempengaruhinya10) dan warga belajar PKH menampilkan salah satu dari sekian jenis belajar untuk mengembangkan kepemimpinan diri, maka fasilitator akan dihadapkan pada bagaimana tempat, waktu dan kriteria penilaian yang memadai untuk ditetapkan. Sedangkan spektrum kepemimpinan diri warga belajar itu sendiri mencakup kenyataan dalam rentang aktualisasi tindakan on class hingga off class. Ditambah pula dua puluh ciri kepemimpinan11), tidak mudah untuk dipetakan bilamana, dan dimana akan ditunjukkan warga belajar secara natural - tanpa skenario khusus – sebagai input penilaian kepemimpinan diri.

Dengan mengandaikan tiga komponen pembelajaran kepemimpinan diri lengkap ditemukan dalam pelaksanaan PKH. Penyelenggara maupun fasilitator akan memiliki tantangan besar yang tidak mudah untuk dilampaui. Jika batu sandungan besar ini dapat diatasi, maka besar kemungkinan dapat menciptakan collaborative problem solving bagi pembelajaran kepemimpinan diri dalam penyelenggaraan PKH di kemudian hari. Tentu saja ini, jika hendak sepuluh prinsip mengajar yang optimal hendak diujudkan dalam setiap pembelajaran kepemimpinan diri.

Keterkaitan Pendidikan Kecakapan Hidup dalam mengembangkan Kewirausahaan

Sudah sejak lama para pegiat pendidikan di awal kiprah mereka sadar bahwa pengajaran dan pendidikan yang dilakukan tidak hanya sekedar penguasaan bahan di kelas. Lebih dari itu, setiap warga belajar harus mampu hidup dan bekerja mandiri sebagai entrepreneur. Adapun kemudian tingkat entrepreneurship mereka berbeda-beda, hal ini berbanding lurus dengan rentang minat dan kebutuhan warga belajar itu sendiri.

R.A. Kartini, pejuang emansipasi wanita bahkan mengharuskan kaum wanita mendapat pengajaran vak (kecakapan hidup, pen.) agar mampu bekerja di luar rumah tangga dan jangan sampai wanita menjadi korban kawin paksa dan budak kaum pria. Sesuai dengan konteks perkembangan budaya dan tuntutan sosial yang berlaku sekarang, pendidikan kecakapan hidup untuk wanita dan ibu rumah tangga menjadi kunci utama dalam program peningkatan pendapatan keluarga (income generating). Langkah Kartini di Rembang, Jawa Tengah ini pun diikuti oleh Dewi Sartika di tanah Pasundan, Jawa Barat dan oleh Rohana Kuddus – kakak perempuan Sutan Syahrir di Kota Gedang, Sumatra Barat.

Pendidikan kecakapan hidup yang menyemai kecakapan entrepreneur pun dijadikan bagian ajar sistem pendidikan taman siswa yang dinamakan taman tani, taman rini dan taman karti. Muhammadiyah dan Nahadlatul Ulama pun tidak turut melaksanakan kegiatan PKH, meski hanya menjadi bagian kurikulum formal. Kemudian tahun 1960, dikenal pendidikan karya, agar warga belajar dapat berdiri sendiri serat memberi kecakapan-kecakapan dan rasa tanggung jawab untuk menjadi pilot bagi masyarakat sekitar dan membangun daerahnya.

Bahkan yang sangat menarik adalah upaya Moh. Syafei yang mendirikan INS di Kayutaman, Sumatera Barat. Prinsip entrepreneur – berdiri sendiri – bahkan diterapkan dengan tidak mengharapkan bantuan dari luar yang mengikat. Segala perkakas sekolah semuanya hasil kerja dan buah tangan murid-muridnya sendiri. Moh. Syafei ingin membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang berani dan bertanggung jawab, berani berdiri sendiri, membuka perusahaan sendiri, hidup bebas dan tidak tergantung kepada orang lain.

Bagian penting dari sejarah yang dipaparkan sebelumnya mengingatkan kepada pegiat PKH, agar tetap menempatkan penyelenggaraan dan hasilnya dalam konteks kemandirian warga belajar. Bukan pada ukuran daya serap, maupun dokumentasi sesaat agar sebuah institusi dianggap telah melakukan PKH. Padahal kedudukan strategis PKH sesungguhnya dalam moving out of poverty karena a lack of adequate and appropriate knowledge, termasuk penguasaan empat kompetensi PKH sama sekali diabaikan.

Sebagai bentuk program pendidikan, PKH tentu harus memenuhi maksud pendidikan to develop to the fullest extent possible the inherent capacities of the individual, to fit the individual to function effectivelly in the world, to develop in individuals the capacity to form their own standards and make their own judgements. Dengan demikian pendidikan dimaksudkan mengembangkan sepenuhnya kemungkinan kecakapan seseorang warga belajar, menyelaraskan peran seorang warga belajar dalam masyarakat, mengembangkan kecakapan warga untuk menciptakan pemahaman dan penilaian pribadi.

Tentu saja, makna pendidikan yang dicakup juga oleh PKH tidak dapat dipisahkan dari persepsi atas sustainability. Persepsi keberlanjutan ini diturunkan secara mendasar dalam aspek: profitability, financial performance, capacity to make a living, ability to improve the natural improvement and make people’s live better in society as a whole. Di sini, kita menempatkan PKH dalam konteks menjadikan warga belajar memiliki nasib lebih baik, memiliki pekerjaan, memperoleh penghasilan sejalan dengan kemampuan memelihara lingkungan dan memberikan sumbangan positif bagi lingkungan sekitar. Bahkan konsep link & match yang menunjukkan interelasi dunia usaha dan industri (DUDI) dan dunia pendidikan merupakan twin strands of contemporary development yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Keduanya membentuk modal kerja yang menjadi landasan bagi kesejahteraan di kemudian hari.

Penyelenggaraan PKH yang menekankan pada kecakapan vokasional yang bersifat teknis dalam jangka pendek dapat memberi peluang kerja mandiri atau peluang kerja di usaha kecil, as the business develops, these skills may be inadequate11). Sejalan perkembangan usaha, kecakapan teknis yang sudah dikuasai saja tidak cukup. Upaya meningkatkan kecakapan vokasi diperlukan lebih lanjut. Sehingga PKH tidak berhenti di satu titik, ketika program yang diprakarsai pihak lain tidak ada lagi. Seorang warga belajar yang telah menyelesaikan satu tahapan PKH dapat terus meningkatkan kecakapan berdasarkan incremental approach. Dan pendekatan incremental seperti itu menjadi sikap wirausaha yang rasional dalam mengembangkan investasinya.

Perbedaan antara warga belajar PKH dengan wirausaha, terletak pada modal yang diinvestasikan untuk dikembangkan. Jika warga belajar PKH mengembangkan kecakapan awal yang pernah dikuasai, maka wirausaha mengembangkan modal usaha yang juga digunakan pada saat memulai usaha. Perbedaan lain terletak pada orientasi pengembangan, bila warga belajar PKH berorientasi pada penguasaan kecakapan baru. Pengembangan yang dilakukan Wirausaha berorientasi pada penguasaan pasar baru.

Sedangkan persamaan yang dijumpai antara warga belajar PKH dan wirausaha terletak pada upaya pengembangan yang merupakan proses rekapitulasi pada setiap individu. Dalam diri warga belajar PKH, proses rekapitulasi berlangsung dalam ujud penambahan kecakapan. Sementara dalam diri wirausaha, rekapitulasi berujung pada peningkatan jumlah modal yang diinvestasikan.

Kedekatan prinsip sebagai hasil penyelenggaraan PKH pada warga belajar dan model mental wirausaha terletak pada proses peningkatan dan pengembangan kecakapan diri sesuai prinsip self propelling growth yakni tumbuh atas kekuatannya sendiri. Keterkaitan penyelenggaraan PNF dalam PKH yang berbeda dari penyelenggaraan pendidikan formal dengan pengembangan wirausaha, diharapkan mampu menyemai sejumlah kecakapan pokok untuk memasuki dunia kerja baik wiraswasta maupun karyawan swasta.

Kecakapan pokok yang dimaksudkan Wuri Sudjatmiko untuk bekal memasuki dunia kerja adalah:

1. mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan, dan mengalokasikan sumber daya;

2. bekerja sama dengan orang lain;

3. memperoleh dan memanfaatkan informasi;

4. memahami hubungan timbal balik yang kompleks; dan

5. bekerja dengan berbagai teknologi.

Jika penyelenggaraan PNF dalam bidang PKH tidak mampu membekali warga belajar sejumlah kecakapan pokok di atas. Bahkan - tanpa malu - tetap me-reduplikasi penyelenggaraan pendidikan formal. Maka dipastikan tidak dapat diciptakan wirausaha, sehingga cepat atau lambat kedudukan bangsa dan masyarakat Indonesia tetap menjadi kelas rendah hanya dipandang sebagai bumiputera. Padahal pendidikan secara universal harus diarahkan to improve humanity’s living condition, termasuk di dalam pengertian ini adalah meningkatkan kedudukan masyarakat dan bangsa, termasuk Indonesia.

Kematian wirausaha seperti dikhawatirkan Andreas Harefa bakal menjadi kenyataan karena nyaris sulit untuk menemukan lembaga pengajaran (sekolah dan universitas) yang menawarkan ajaran tentang apa, mengapa, dan bagaimana menjadi business owner dan investor. Pekerjaan orang yang disebut business owner dan investor pada hakekatnya adalah kelompok wirausaha atau orang yang berusaha mandiri.

Agar peran PNF memiliki kekhasan terutama dalam melahirkan wirausaha, sepantasnya bila selama pelaksanaan PKH baik penyelenggara, fasilitator maupun warga belajar menunjukkan tujuh hal berikut:

1. Ide, keyakinan dan visi kuat mengenai masa depan masyarakat dan bagaimana menangguk keuntungan dari semua hal itu;

2. Sensitivitas terhadap kebutuhan pasar;

3. Kreatif untuk menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar;

4. Mengembangkan keberanian untuk mengambil resiko dalam usia muda (risk-taker);

5. Kebiasaan bekerja keras;

6. Toleransi terhadap kegagalan; dan

7. Pantang menyerah serta ketekunan bekerja.

Kesimpulan sekaligus masalah yang dapat dipetik selama ini adalah dasar kesadaran apa yang menyebabkan pelaksanaan PKH hanya dangkal pada upaya pengembangan kecakapan kerja semata? Kemudian perubahan kesadaran seperti apa yang dibutuhkan penyelenggara dan fasilitator agar pelaksanaan PKH turut melahirkan wirausaha yang tentu mampu memberi sumbangan bagi peningkatan derajat kehidupan pribadi maupun masyarakat sekitar?

Seraya menyimpan harap jawaban atas dua pertanyaan di atas, penulis ingin menyampaikan kutipan yang diambil dari Roger A. Kufman yang mengupas perubahan dalam bidang pendidikan.

As educators we can deal with change in several ways. We can be spectators to change, or we may be participants in it. All to often we are spectators and are swept along with condition that cause us to constantly react to situational crises, or even to delay until others make decisions for us.

Kutipan ini memiliki makna bebas berikut: sebagai pendidik kita berhadapan dengan perubahan dalam beragam cara. Kita dapat menjadi penonton terhadap perubahan, atau ikut serta dalam perubahan yang berlangsung. Kebanyakan kita kerap hanya menonton dan larut dalam keadaan yang menjadikan kita selalu bertindak setelah krisis terjadi, atau kita menunda bertindak sampai kemudian orang lain menetapkan nasib kita.

Kutipan di atas semata-mata dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran dalam memaknai keberadaan kita sebagai pegiat dan pendidik PNF.

Sebagai penutup, mengenai kepemimpinan diri dalam pelaksanaan PKH, apakah kita menetapkan untuk diri kita atau membiarkan diri sebagai penonton sampai pihak lain yang menetapkan muatan kepemimpinan diri dalam penyelenggaraan PKH?

Pustaka Rujukan

Ahmadi, Abu.(1975).Sejarah Pendidikan.Semarang:Toha Putra.

Ansyar, M. (Penerjemah). (1984). Arti Pendidikan Bagi Masa Depan. Jakarta: Pustekkom Dikbud dan Rajawali.

Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. (2007). Kumpulan Bahan Training of Trainer Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Tenaga Pendidik Pendidikan Non Formal. Jayagiri: Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. Tidak diterbitkan.

Beeby, C.E. (1968). The Quality of Education in Developing Countries. Second Printing. Cambridge & Massachusetts: Harvard University Press.

Bolton, Robert. (2000). People Skills: How to Assert Yourself, Listen to Others, and Resolve Conflicts. New South Wales: Simon & Schuster.

Byrd, Jack dan L. Ted Moore. (1984). Decission Models for Management. International Student Edition. 2nd Printing. Auckland et.al.: McGraw-Hill International Book Company. p.19.

Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. (1996). Making an Impact: Innovative HRD Approaches to Poverty Alleviation. United Nations: ESCAP.

Harefa, Andreas. (2000). Berwirausaha dari Nol: 10 Kiat Sukses dengan Modal Seadanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

----------- (2005). Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup. Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hamalik, Oemar. (1993). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Mandar Maju.

Imron, Ali. (1996) Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Institute for International Cooperation of The German Adult Education Association. (2001). Adult Education and Development. No. 75. Bonn: Institute for International Cooperation of The German Adult Education Association.

----------- (2001). Adult Education and Development. No. 57. Bonn: Institute for International Cooperation of The German Adult Education Association.

Jaspers, K. (1933). Man in The Modern Age. Diterjemahkan oleh Eden dan Cedar Paul. New York: Henry Holt.

Katoppo, Aristides.et.al. (1997). Dari Meja Tanri Abeng: Gagasan, Wawasan, Terapan dan Renungan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kaufman, Roger A. (1972). Educational System Planning. 7th Printed. New Jersey: Prentice Hall.

Nasution, Amir Taat. (1987). Kamus Politik. Cetakan ke-18. Surabaya: Bina Ilmu.

Peter Sange et.al. (2006). Learning for Sustainability. Cambridge dan Massachusetts: Society for Organizational Learning. p. 96.

Pringgodigdo, A.K. (1970) Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Tjetakan ketudjuh. Djakarta: Dian Rakjat.

Suardi, Edi. (1983). Pedagodik 2: Sistem dan Tujuan Pendidikan. Bandung: Angkasa.

Sekolah Tinggi Manajemen Bandung. (1995) The Professional Business Management Training: Modul Pelatihan Kepemimpinan. Bandung: STMB.

Siagian, S.P. (1981) Sistem Informasi untuk Pengambilan Keputusan. Cetakan VI. Jakarta: Gunung Agung.

Slameto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Cetakan ke-3. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Winarto, Paulus. (2002) First Step to be An Entrepreneur: Berani Mengambil Resiko untuk menjadi Kaya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Tahija, Julius. (1997) Melintas Cakrawala: Kisah Sukses Pengusaha Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

No comments: