Wednesday, March 13, 2013

Makna Keaksaraan Bukan sekedar Pemberdayaan

Abstrak
Pendidikan keaksaraan lekat dengan sejarah awal kehadiran negara Indonesia. Di masa ini corak pendidikan lebih kental sebagai pendekatan untuk mengembangkan kemampuan dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar.

Masyarakat yang menjadi warga belajar pendidikan keaksaraan secara simultan berhasil mereduksi akibat tuna aksara, termasuk meningkatkan derajat bangsa dan negara di percaturan negara-negara berkembang yang gencar melaksanakan pembangunan. Derajat ini ditunjukkan melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), salah satu parameter yang digunakan adalah derajat buta aksara (=illiteracy rate). Upaya ini pun berdampak luas hingga menyentuh ‘gengsi’ pemerintah di berbagai tingkatan untuk menyerap anggaran, bahkan secara politis berpengaruh pada kelangsungan jabatan seorang pejabat di daerah.
Kedua masa di atas telah berlalu, begitu pula dengan IPM yang tidak lagi melirik buta aksara sebagai parameter pendidikan.

Tuntutan yang ada sekarang dan di masa depan adalah menempatakan keaksaraan sebagai kemampuan mencari informasi, secara kritis mengolah, menilai dan mengelolanya (dalam dunia digital) untuk kebermaknaan bagi dirinya dan berbagi dengan orang lain. Termasuk makna keaksaraan sebagai wujud dasar peningkatan kapasitas to revolution, reform, maintenance dan conservation pengetahuan yang telah dimiliki seseorang baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.

Peningkatan kapasitas keaksaraan ini dapat diarahkan pada kecakapan interpersonal seperti berkomunikasi dan mengutarakan pendapat, beragumentasi, mengenali dan mengelola perbedaan pendapat, menyimak dan menyimpulkan pendapatan umum. Kecakapan interpersonal yang telah dikuasai perlu didukung oleh kecakapan management seperti berinteraksi, mendelegasikan, menerima tanggung jawab, belajar dari pengalaman, saling mengambil hikmah dari masalah hidup satu sama lain, mengendalikan tindakan yang tidak diharapkan, mengembangkan tanggapan positif.


Pengantar
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), pendidikan keaksaraan berkenaan erat dengan pengetahuan dan kemampuan dasar budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat (Pasal 4 Ayat 5). Pendidikan ini pada masa kemerdekaan dikenal dengan ‘kursus ABC’, kemudian pada tahun 1964 dinamakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH), tahun 1978 dikemas menjadi program kelompok belajar (Kejar) Paket A dan sesudah itu tahun 1995 menjadi Keaksaraan Fungsional (KF).

Pendidikan keaksaraan fungsional lebih dikenal sebagai pendekatan untuk mengembangkan kemampuan dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar (Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, 2002:1-3).

Pendidikan keaksaraan ini merupakan ‘gengsi’ pemerintah di berbagai tingkatan untuk menyerap anggaran, bahkan ternyata semakin memiliki muatan politis setelah derajat melek aksara menjadi salah satu parameter utama keberhasilan pembangunan daerah diukur dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia.

Tulisan ini hendak menawarkan pemikiran atas pendidikan keaksaraan berdasarkan gerak dinamika pembangunan. Kita pahami bersama Penbangunan itu sendiri merupakan instrumen yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tentu saja, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat ini tidak berkorelasi langsung dengan pencapaian derajat tertentu dalam kecakapan membaca, menulis dan menghitung. Melainkan lebih dari itu, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat memberikan harapan pemanfaatan kemampuan keaksaraan sebagai kapasitas pribadi yang bisa dioptimalkan dalam menopang laju pembangunan.

Pendidikan Keaksaraan sebagai Pengembangan Kapasitas
Mewacanakan pembangunan bangsa dan negara yang ditandai oleh daya saing manusia tidak lepas dari sumbangan bidang pendidikan dan latihan yang memainkan peranan dalam perubahan sosial dan ekonomi.

Pendidikan dan latihan ini termasuk pendidikan keaksaraan diartikan sebagai bagian spectrum kegiatan Human Resource Development (OECD,1989:3). Sehingga makna keaksaraan menurut Thomas Friedman telah berkembang menjadi kemampuan mencari informasi, secara kritis mengolah, menilai dan mengelolanya (dalam dunia digital) untuk kebermaknaan bagi dirinya dan berbagi dengan orang lain. Sehingga dapat dibedakan keaksaraan dasar dan keaksaraan keluarga termasuk keaksaraan usaha mandiri (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, 2009a:29). Pendidikan keaksaraan ini dapat mewakili kebutuhan revolution, reform, maintenance dan conservation (Jones, 1988:47). Pemenuhan keempat kebutuhan pendidikan keaksaraan ini dapat mewakili upaya mewujudkan ciri individu berdaya:
1. Dapat mengandalkan diri untuk memulai suatu kegiatan dengan menggunakan potensi (kemampuan, keterampilan, hasrat, pengetahuan) dalam diri.
2. Tidak bergantung pada orang lain, lingkungan atau pihak lain untuk memberikan fasilitas bagi dirinya dalam melaksanakan kegiatannya.
3. Memiliki optimism dan motivasi internal dalam beraktivitas.
4. Memberikan inspirasi dan motivasi pada orang lain untuk berperilaku positif
5. Menghargai hak-hak orang lain dan memberikan peluang untuk berkembang bagi orang lain.
6. Tidak cemas pada kegagalan dan dapat melihat makna/hikmah dari setiap peristiwa, serta bertindak konsturktif dalam meyikapi kegagalan.
7. Selalu mengembangkan dirinya dan belajar sepanjang hayat.
8. Merasa mempunyai pilihan dalam hidupnya, dan dapat mengendalikan lingkungan, jadi bukan lingkungan yang mengendalikannya.
9. Memiliki alternative/solusi.
10. Berpikir positif dalam menjalani hidup.
11. Merasa nyaman dan bahagia dengan keberadaan dirinya.

Dengan melihat sasaran pendidikan keaksaraan pada akhir Agustus 2008 yang mencapai 10,16 juta orang (6,22 persen). Angka ini menunjukkan jumlah penduduk buta huruf yang ternyata 65 persen adalah wanita (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, 2009b:16). Sedangkan menurut BPS pada tahun 2009 proporsi angka melek huruf penduduk berumur 10 tahun ke atas mencapai 93,05 persen.

Besaran jumlah sasaran pendidikan keaksaraan versi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal tahun 2008 tidak menetapkan umur, sementara BPS tahun 2009 menetapkan proporsi angkat butu huruf di atas usia 10 tahun mencapai 6,95 persen. Andaikata jumlah ini adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas, maka kalkulasi sederhana dengan memperhatikan laju pengurangan penduduk per tahun secara normal sebesar 10 persen. Jumlah sasaran buta aksara ini akan mencapai titik nol pada sepuluh tahun mendatang.

Apabila hendak mencapai tujuan MDG pada tahun 2015, strategi pendidikan keaksaraan yang tepat adalah dengan melipat gandakan proporsi pencapaian program menjadi 20 persen per tahun. Hal ini bila diasumsikan semua bagian yang berkorelasi terhadap pengurangan penduduk buta aksara berlangsung normal. Untuk itu penyelenggaraan keaksaraan Paket A dengan menekankan revolusi dan reformasi cara belajar untuk mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) dapat ditempuh sebagai program unggulan. Sedangkan keaksaraan fungsional menjadi program andalan dalam upaya pemeliharaan dan konservasi kecakapan keaksaraan sesuai bidang kehidupan dan pekerjaan peserta didik.

Kesimpulan
Sebagai sasaran antara pembangunan sumber daya manusia, maka pengembangan program keaksaraan menempatkan prioritas pada pencapaian sasaran MDG’s tahun 2015. Pencapaian ini tentu dengan tidak melupakan sasaran jangka panjang sebagai bagian peningkatan kapasitas perseorangan warga masyarakat.

Peningkatan kapasitas keaksaraan ini dapat diarahkan pada kecakapan interpersonal seperti berkomunikasi dan mengutarakan pendapat, beragumentasi, mengenali dan mengelola perbedaan pendapat, menyimak dan menyimpulkan pendapatan umum. Kecakapan interpersonal yang telah dikuasai perlu didukung oleh kecakapan management seperti berinteraksi, mendelegasikan, menerima tanggung jawab, belajar dari pengalaman, saling mengambil hikmah dari masalah hidup satu sama lain, mengendalikan tindakan yang tidak diharapkan, mengembangkan tanggapan positif.

Sehingga rancang bangun pendidikan keaksaraan yang memiliki dimensi pemberdayaan menawarkan nilai dan harapan baru, pencapaian tujuan berdasarkan visi, mengelola kemitraan di sekitar, serta secara kreatif menciptakan peluang untuk berprestasi.

Referensi
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. (2002) Keaksaraan Fungsional: Buku Pegangan Pelatihan Tutor Keaksaraan Fungsional. Bandung: Proyek Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah.

Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (2009a). Mereka diarahkan pada Pendidikan Kesetaraan Integrasi Keterampilan. Warta PNFI: Agenda. Volume 77. Edisi X Tahun 2009.

------------ (2009b). Pemerintah Optimis Turunkan Buta Aksara. Warta PNFI: Sajian Utama. Volume 76. Edisi IX Tahun 2009.

Direktorat Pendidikan Masyarakat. (2009). Berkualitas Karena Aksara dalam Utama - Aksara: Media Komunitas Pendidikan Keaksaraan NO. 16. THN IV. Edisi Januari – Februari 2009.

OECD. (1989). Education and The Economy in Changing Society. Report on Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) on Intergovernmental Conference, Paris, March 16-18, 1988. Paris: OECD

Jones, David. (1988). Adult Education and Cultural Development. New York dan London: Routledge.

Disampaikan pada Seminar International Pendidikan Non Formal, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah – Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, tanggal 29 November 2010.

Kontak Email: e.hardiyanto@yahoo.co.id.

No comments: